SURABAYA, FaktualNews.co-Pada awal Maret 2022, Polrestabes Surabaya merilis keberhasilan membongkar sindikat narkoba dengan lima tersangka dan menyita 46 kilogram sabu, serta empat ribu pil koplo. Keberhasilan yang disampaikan Kapolrestabes Surabaya, Kombespol Ahmad Yusep ini menjadi bukti bahwa peredaran narkoba masih membanjiri Jatim, khususnya Kota Pahlawan.
Hal ini diperkuat dari data yang disampaikan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Petrus Golose, pada Jumat (22/02/2022) bila terdapat 8.691 titik rawan narkoba di Indonesia sehingga situasi ini masuk kategori waspada dan bahaya. Dari angka tersebut Jawa Timur tercatat sebagai provinsi kedua yang memiliki kawasan rawan narkoba terbanyak nasional, yakni 1.162 kawasan. Peringkat pertama Sumatera Utara dengan 1.192 kawasan, dan ketiga Lampung sebanyak 903 kawasan rawan narkoba.
Menyikapi hal ini, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Nasional Anti Narkotika (DPD GRANAT) Jawa Timur Arie Soeripan menyebut, tingginya tingkat prevalensi narkoba di Tanah Air akibat beragam faktor.
Pertama kata dia karena faktor dari diri sendiri yang tidak mampu menolak pengaruh buruk narkoba. Kemudian faktor lingkungan berupa ajakan dari teman, salah pergaulan hingga masalah sosial.
Penyebab lain tingginya angka penyalahgunaan narkoba karena faktor ekonomi. Iming-iming keuntungan berlipat dalam praktik peredaran narkoba dikatakannya, menjadi pesona bagi sejumlah pihak bergelut dalam bisnis barang haram tersebut.
Semisal jadi kurir narkoba. Ia mengatakan upah yang diberikan cukup fantastis. Rerata Rp 1 juta per sekali transaksi. “Apalagi menjadi bandar (narkoba). Dengan kondisi ekonomi seperti yang sekarang ini. Adanya Covid-19, apa-apa mahal, ekonomi terpuruk. Ya banyak yang tertarik,” ujar Arie.
Namun dari ketiga faktor itu, yang tak kalah berpengaruh terhadap tingginya angka penyalahgunaan narkoba menurutnya, akibat penegakan hukum lemah.
Ia menilai sanksi bagi pelaku sindikat peredaran narkoba selama ini terkesan tebang pilih, tajam ke atas namun tumpul ke bawah. Hukum dianggapnya cenderung berpihak kepada orang kaya, karena mereka bisa membeli pasal-pasal yang disangkakan, sehingga begitu mudah dimainkan menggunakan uang.
Arie lantas melontarkan kritikan tajam kepada aparat penegak hukum yang kerap menghentikan penanganan kasus narkoba saat penyidikan. Polisi mengenakan wajib rehabilitasi rawat jalan bagi pelaku narkoba. Meskipun ia paham bila kewenangan ini berada di tangan penyidik kepolisian. Namun paling tidak, ia meminta supaya keputusan itu benar-benar dijatuhkan kepada pengguna sebagai korban kejahatan narkoba dan tidak disalahgunakan.
“Orang yang menggunakan narkoba itu memang korban dan orang ini harus diobati, harus disembuhkan bukan dipenjara. Tetapi dalam hal ini tentunya jangan sampai dipersalahgunakan, nanti ketangkap sedikit-sedikit rehabilitasi,” sindirnya.
Rehabilitasi Hanya Bagi Pengguna Narkoba
Kabidhumas Polda Jatim Kombes Pol Dirmanto menjelaskan, keputusan merehabilitasi pelaku narkoba sepenuhnya berada di tangan penyidik dan tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun. Keputusan ini kata dia, berdasar berbagai pertimbangan. Salah satunya pelaku harus benar-benar pengguna terakhir. Bukan bagian dari pengedar, namun hanya sebagai pemakai. Hal ini sebagaimana Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 menyebutkan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
Kendati berhak direhabilitasi, seorang pecandu narkoba tidak bisa langsung mendapatkan tindakan ini ketika berhadapan dengan hukum. Menurut Dirmanto, yang bersangkutan harus terlebih dahulu melewati sejumlah tahapan.
“Karena proses sebelum rehabilitasi itu harus dilalui. Lapor ke instansi wajib lapor kemudian setelah lapor dilakukan assessment. Assessment itu terdiri dari assessment medis dan assessment sosial,” kata Dirmanto, Kamis (10/3/2022).
Dia menyebut proses assessment bagi pengguna yang tertangkap aparat wajib didampingi penyidik dari Polri maupun BNN. Pendampingan ini penting karena bertujuan untuk menganalisa jaringan, terlibat jaringan atau tidak dalam berproses hukum.
Mantan Kabidhumas Polda Kalimantan Barat ini menyampaikan, ada beberapa pertanyaan yang diajukan dalam proses assessment. Meliputi kapan dan intensitas penggunaan narkoba sampai perasaan yang dialami ketika memakai narkoba. Setelah itu baru diketahui pengguna narkoba tersebut perlu direhabilitasi dengan cara rawat jalan atau rawat inap.
“Jadi tidak benar bila polisi dianggap main-main atau tidak serius memberantas peredaran narkoba,” katanya.
Berdasar data yang diberikan, selama kurun tahun 2021, Ditresnarkoba Polda Jatim telah menetapkan 7.349 tersangka peredaran narkoba dengan barang bukti total 166,7 kilogram sabu; 28,7 kilogram ganja; 35 ribu butir ekstasi dan sejumlah barang bukti obat terlarang yang disita.
Dalam Bulan Februari 2022 saja, Dirmanto merinci, jajaran Polda Jawa Timur telah mengamankan 794 tersangka dari 645 kasus penyalahgunaan narkoba. Dengan menyita barang bukti berupa ganja seberat 8,1 kilogram dan 98,7 kilogram sabu. Lalu 3.331 butir ekstasi, 6.888.993 butir pil koplo.
Lantaran banyaknya tersangka yang diamankan serta memerhatikan kondisi overcrowded pada lembaga pemasyarakat (Lapas), kepolisian memutuskan menangani penyalahgunaan narkoba dengan metode prevention without punishment, yakni melalui wajib lapor pecandu dan implementasi penegakan hukum rehabilitasi dengan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif.
“Bayangkan saja, kalau ribuan orang ini semua dipenjara. Sementara kondisi lapas saat ini saja sudah overload. Karena masih tinggi angka pengguna yang harus melalui proses hukum, sehingga perlu penguatan langkah preventif dan restorative justice,” tandas Dirmanto.
Data dari Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Jatim per Selasa, 15 Maret 2022 menunjukkan, penghuni Lapas maupun rumah tahanan mengalami overcrowded atau melebihi kapasitas huni sebesar 105 persen.
39 unit Lapas maupun Rumah Tahanan (Rutan) di Jawa Timur kini diisi 27.699 penghuni, baik berstatus sebagai narapidana maupun tahanan. Padahal kapasitas puluhan tempat itu hanya cukup menampung 13.471 orang. 61,8 persen penghuni berasal dari kasus narkoba sebanyak 12.087 sebagai pengedar atau bandar dan 5.055 orang sebagai pemakai.
Sisanya, 437 penghuni kasus tindak pidana korupsi; 73 penghuni kasus illegal logging; 41 penghuni kasus terorisme; 25 penghuni kasus human trafficking; lima penghuni kasus pencucian uang; dua penghuni kejahatan keamanan negara dan seorang penghuni illegal fishing.