MOJOKERTO, FaktualNews.co – Kerajaan medang atau yang lebih dikenal dengan kerajaan mataram kuno mempunyai rekam jejak berdiri di wilayah Jawa Timur pada abad 10. Setidaknya berdasarkan bukti-bukti prasasti yang ditemukan di sejumlah tempat.
Salah satunya adalah Prasasti Masahar. Prasasti Masahar ditemukan 9 Februari 2022 di situs Gemekan, Dusun Kedawung, Desa Gemekan, Sooko, Kabupaten Mojokerto saat Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim melakukan ekskavasi.
Berdasarkan hasil kajian Ahli Epigraf dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Titi Surti Nastiti, Prasasti Masahar dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rakai Hino Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotunggadewa pada Bulan Asuji tanggal 12 Paro Terang tahun 852 saka atau 7 Oktober 930 masehi.
Dari sini, bisa ditengarahi bahwa Prasasti tersebut dikeluarkan setelah Raja terakhir Kerjaaan Medang itu memindahkan kekuasaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur tahun 929 masehi. Artinya, jauh sebelum Majapahit berdiri. Penguasa Kerajaan Medang itu memerintah sampai 947 masehi. Sementara, Majapahit berdiri pada abad ke 13, tahun 1293 masehi.
Prasasti Masahar berisi tentang penetapan tanah bebas pajak (sima) di sebuah perkampungan baru untuk mengelola peribadatan pada masa Kerajaan Medang pemerintahan Mpu Sindok abad 10 silam.
Menurut Titi, pada saat itu sang Raja Mpu Sindok memerintahkan Samgat Madandar Pu Padma dan Anggehan Pu Kundala untuk membatasi pajak atas tanah yang telah dibeli oleh Rakai Hananan Lampuran Pu Wawu dan istrinya, Dyah Parhyanan.
“Ukuran tanah adalah 3 tampah yang dibeli dengan mas 3 kati dan 5 suwarna Tanah,” katanya, Sabtu (2/4/2022).
Di dalam prasasti disebutkan, tanah yang dimaksud adalah tanah sima pumpunan untuk bangunan suci yang diberi nama Sanghyang Prasada Kabhaktyan i Panurumbigyan di perkampuangan Masahar yang masuk wilayah Padan.
Pada masa Mpu Sindok, desa ini berada di wilayah Watek Padang. Titi menduga pada zaman itu, watek merupakan kumpulan dari desa setingkat kabupaten yang lebih luas dibandingkan kecamatan.
Saat ini, Situs Gemekan tempat penemuan Prasasti Masahar berada di wilayah administrasi Dusun Kedawung, Desa Gemekan, Sooko, Kabupaten Mojokerto. Situs purbakala berupa bangunan candi beraliran Hindu Siwa tersebut ditemukan di persawahan milik warga setempat.
“Yang menarik, di Prasasti Masahar disebutkan tanah yang ditetapkan sebagai sima adalah tanah tarukan. Artinya perkampungan baru. Jadi, ada kemungkinan tanah sima ini terletak di sebuah perkampungan baru bernama Masahar,” ungkap dia.
Naskah Prasasti Masahar menyebut kalimat ‘Rakryan Bini Haji’. Menurut Titi, kalimat itu bermakna nama istri atau selir dari Raja Mpu Sindok, bernama Rakai Sri Manggala. Saat bertahta Mpu Sindok memiliki dua selir. Salah satunya Rakryan Mangibil yang disebutkan dalam Prasasti Wulig.
Prasasti Wulig sendiri ditemukan di Desa Bakalan, Gondang, Kabupaten Mojokerto. Prasasti ini dikeluarkan tanggal 8 Januari 935 masehi. Salah satu isinya tentang Rakryan Mangibil meresmikan 3 bendungan di Kahulunan, Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya.
Sedangkan istri Mpu Sindok yang menjadi permaisuri dimuat dalam Prasasti Geweg. Sang Permaisuri bernama Rakryan Sri Prameswari Sri Warddhani Pu Kebi. Prasasti yang ditemukan di Desa Tengaran, Peterongan, Jombang ini dikeluarkan 14 Agustus 933 masehi. Isinya tentang penetapan Desa Geweg menjadi sima.
Masih kata Titi, kala itu raja mengundang sejumlah penjabat untuk menghadiri acara upacara sima. Raja juga memberikan hadiah (pasak-pasak) kepada para pejabat dan yang hadir berupa uang emas, dan kain.
“Semua yang hadir dikasih hadiah. Ada dua hadiah, uang emas dan kain. jenis kainnya macam-macam, ada yang satu helai dan ada yang satu pasang,” tandas dia.
Meski nama ia sang Raja dan selir disebut dalam Prasasti, ia tidak bisa memastikan kehadiraanya dalam upacara tersebut. “Jadi istriya hanya disebutkan namanya untuk menyiapakan semacam sesajen saja. Raja itu walaupun disebutkan dan memberi pasak-pasak (hadiah) belum tentu hadir disitu,” beber perempuan Ahli Epigraf dari Brin itu.
Raja pun melarang petugas pajak (manilala drabya haji) memasuki kawasan Sima. Karena Sima merupakan tanah bebas pajak. Akan tetapi, masyarakat yang tinggal di tanah sima tetap dikenakan pajak. Termasuk juga tanah sima di Desa Masahar.
Hanya saja, pajak yang dipungut dari rakyat tidak untuk disetorkan ke Kerajaan Medang ataupun Mpu Sindok. Titi memperkirakan, pajak dari tanah sima tersebut dibagi tiga. Sepertiga untuk pemilik tanah, yaitu Rakai Hanyangan, sepertiga untuk berbagai keperluan peribadatan bernama Prasada Kabhaktyan Pangurumbigyan, sepertiga sisanya untuk membayar penjaga dan perawat bangunan suci tersebut.
“Rakyatnya tetap membayar pajak, cuma peruntukkannya yang berbeda,” ujarnya.
Pada dasarnya inti dari Prasasati Masahar tentang penetapan tanah Sima. Bukan berisi tentang pembangunan bangunan suci.
“Tanah sima tidak untuk membangun bangunan suci. Harusnya bangunan sucinya sudah ada karena sudah ada namanya. Kenapa disebut sima punpunan karena tanah sima ini tak jauh dari bangunan sucinya. Bisa di desa yang sama, bisa juga tetangga desa,” tukasnya.
Ketetapan sima di Masahar oleh Mpu Sindok tersebut, menurut Titi, berlaku sepanjang masa. Prasasti Masahar juga menyebutkan para pejabat yang hadir di upacara penetapan sima, serta hadiah atau pasak-pasak yang mereka terima.
Pada naskah sisi kiri Prasasti Masahar, berisi Kutukan bagi siapa saja yang melanggar ketetapan sima. Sedangkan sisi kanan Prasasti Masahar mennyebut upacara penetapan sima diakhiri dengan makanan dan meminum-minuman keras. Yaitu miras jenis tuak, cinca dan sindhu.
“Selesai upacara diakhiri dengan makan dan minum-minuman keras dan pertunjukan,” tutup Titi.
Saat ini Prasasti Masahar peninggalan Śrī Mahārāja Rake Hino Dyaḥ Siṇḍok Śrī Īśānawikrama Dharmottuṅgadewawijaya itu disimpan di Kantor BPCB Jatim, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.