Kasus Kematian Siswa Inklusi di Kalirungkut Surabaya, Ini Kata Dosen Psikologi Ubaya
SURABAYA, FaktualNews.co – Kasus kematian siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 23 Surabaya, atas nama Valentino Tandjung (16), yang mengidap inklusi (berkebutuhan khusus) di lahan kosong belakang Transmart Jalan Kalirungkut, Surabaya terus menjadi sorotan publik.
Berdasarkan penyelidikan polisi, Valen dinyatakan bunuh diri, karena di badannya yang telah menghitam itu tidak ditemukan tanda kekerasan. Padahal, Valentino merupakan anak tunagrahita ringan (kecerdasan di bawah rata-rata).
Banyak warga bertanya-tanya terkait meninggalnya bocah berkebutuhan khusus itu, yang termasuk dalam kondisi tidak wajar. Jasadnya tergantung satu bulan lebih dan ditemukan dengan kondisi terlihat tulangnya.
Menanggapi kasus ini, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) Dr. Mary Philia Elisabeth mengatakan, dari sisi psikologi, seorang tunagrahita disebut sebagai disabilitas intelektual (DI).
Salah satu tandanya, kemampuan kognitif dari anak-anak yang mengalami disabilitas intelektual, mereka terlambat dalam berpikir dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya.
“Nah terlambat itu dalam arti kemampuan dia dalam berpikir lebih lambat, memahami sesuatu lebih lambat, memproses sesuatu informasi lebih lambat, dan kalau dalam adaptasi itu juga akan berpengaruh pada lingkungan,” kata Dr Mary Philia Elisabeth, dihubungi melalui sambungan telfon, Selasa (26/4/2022).
Mary menambahkan, umumnya anak dengan disabilitas intelektual ringan, IQ-nya sekitar 50-55 sampai 70-75.
“Nah kategori ringan ini kalau dilihat dari kasus ini, karena dia (Valen) masuk di sekolah yang umum, berarti secara kognitif dia terlambat, tapi masih mampu mengikuti pelajaran apalagi di SMP Negeri. Dia juga masih berteman, masih pegang handphone, dan aktif berkomunikasi juga,” tambahnya.
Lebih jauh dijelaskan, terkait adanya dugaan bunuh diri yang dilakukan oleh Valen, Mary menjelaskan, jika dari sudut pandang psikologi forensik, harus bisa membedakan, itu kasus bunuh diri atau pembunuhan.
“Kalau ini dibilang kasus bunuh diri, kita harus tahu itu ada jejak sebelumnya. Misalnya, anak ini mungkin sudah kelihatan murung, dia menutup diri, ada ujaran-ujaran dia sudah enggak ingin di dunia ini, itu menandakan seseorang yang mengalami stres berat dan kemungkinan berisiko dia melakukan upaya bunuh diri,” jelasnya.
Wakil Kepala SMP Negeri 23 Surabaya Bidang Kesiswaan, Siti Halimah mengatakan, meski Valen mengalami keterbatasan, tak membuat siswa yang duduk di bangku kelas 8 ini mengalami kesulitan.
Sepengetahuan dirinya di sekolah dan berdasarkan dari keterangan orang tua, Valen merupakan anak yang baik dan tidak pernah merepotkan di tengah keterbatasan yang ia bawa sejak lahir itu.
“Dia anak yang baik, dia inklusi tapi enggak parah. Dia grahita ringan. Secara psikologis dia mampu, masih bisa mandiri seperti anak-anak pada umumnya,” sebutnya.
Hal itu juga dikuatkan oleh Ghea Shalom Siahaan, teman Valen di sekolah. Bocah mungil itu menjelaskan, korban dikenal sebagai anak periang dan suka bercanda dengan teman-temannya.
“Baik banget anaknya. Suka bercanda kalau sedang tidak ada guru. Kenal sejak kelas VII. Sampai saat ini kelas VIII. Dulu sering ketemu pas ada kegiatan pramuka,” tambahnya.
Disinggung terkait masalah Valen selama di sekolah, Ghea mengaku Valen tak pernah memiliki masalah atau musuh. Sebab, Valen dikenal orang yang ceria dan mudah bergaul dengan teman-teman lain.
“Gak pernah (punya masalah). Pas pertama kali tahu kabar itu (kematiannya), saya kaget. Kebetulan saat itu dapat kabar dari teman,” pungkasnya.