Cak Edy Karya, Sempat Dilarang Bapaknya menjadi Pimpinan Ludruk Karya Budaya
MOJOKERTO, FaktualNews.co – Eko Edy Santoso atau akrab dipanggil Cak Edy Karya sempat dilarang menjadi pimpinan grup Ludruk Karya Budaya Mojokerto sebagai pangganti bapaknya, Bantoe.
Bantoe yang merupakan pensiunan polisi sekaligus pendiri grup ludruk asal Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto itu meninggal dunia pada tahun 1993 di usia 63 tahun.
Kepada FaktualNews.co Cak Eddy bercerita, sebelum bapaknya menghembuskan nafas terakhir, pernah berwasiat secara lisan. Isinya, diwanti-wanti Edy untuk tidak menjadi pemimpin Ludruk Karya Budaya.
“Nek aku mati ludruk e ojo sampek dipimpin anakku (kalau aku mati ludruknha jangan sampai dipimpin anakku),” turur Edy menirukan dawuh bapaknya, Sabtu (4/6/2022).
Tentunya, Cak Bantoe punya alasan. Ia memiliki rasa kekhawatiran terhadap karir Edy yang belerja sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) kala itu. Ia tidak ingin kesibukan mengurus manejemen Ludruk Karya Budaya mengganggu pekerjaan Edy di Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto.
Selain itu, Cak Bantoe juga trauma, karena melihat anggota Ludruk Karya Budaya bekerja sebagai PNS dan pekerjaan terganggu akibat sering pentas.
Ludruk Karya Budaya biasa pentas pada malam hari, dan pulang dini hari. Yang PNS, paginya harus tetap bekerja sebagaimana biasanya.
“Dulu pemainnya banyak yang pegawai negeri, banyak yang dari guru, pegawai kecamatan. Rata-rata orang itu ditempat kerjanya tidak maksimal. Bayangkan, semalam suntuk petas ludruk, lalu paginya ngajar, laporan kepala sekolah kalau mengajar ngantuk. Mungkin bapak trauma dengan itu, sehingga saya yang sebagai orang PNS, mungkin takut dengan itu sehingga anaknya tidak boleh,” papar Edy.
Bahkan, pada tahun 1983 dirinya sudah dilarang total ikuti pementasan. Hanya menonton pun tidak boleh. “Saya dulu sempat bermain waktu bapak saya ada, pada tahun ’83 dilarang total sama bapak. Karna saya sudah aktif di PNS. Berangkat tanggapan saja, naik mobil disuruh turun,” ucapnya sambil tersenyum.
Akan tetapi, seluruh anggota Ludruk Karya Budaya menginginkan Edy yang menggantikan bapaknya menahkodai. Pada suatu ketika anggota Karya Budaya berjumlah 79 orang datang menggunakan truk sepulang dari pentas. Mereka mendesak agar Edy yang menggantikan posisi mendiang Can Bantoe.
“Mereka tida mau kalau tidak saya yang memimpin. Suatu malam, setelah bubar pentas bawa satu truk ke rumah, meminta saya jadi pimpinan. Akhirnya oleh ibu saya diizinkan,” jelas berusia 68 tahun itu.
Edy bertekad bagaimanapun cara ludruk ini harus tetap eksis dan pekerjaanya juga berjalan maksimal.
Mengawali jadi ketua, Edy tidak merasa canggung. Semasa hidup bapaknya, ia sering menyaksikan bagaiman cara bapaknya memimpin dan mengarahkan anggota Ludruk Karya Budaya. “Itu sudah menjadi makanan sehari-hari saya. Sehingga saya tahu persis waktu itu saat masih ada bapak,” sambung Edy.
Sewaktu bapaknya ada, Edy sering bermain bersama anggota Ludruk Karya Budaya tiap kali pementasan. Ketika menjadi pimpinan grup ludruk yang berdiri tahun 1969 ini, Edy tidak bermain. Ia memilih sebagai pengawas dan menuliskan alur cerita.
Edy sudah terlatih menulis naskah cerita, karena pada saat sekolah dibangku SMA ia aktif kegiatan ekstrakulikulier teater.
“Hanya saja untuk pentas sehari-hari saya tidak bisa ikut mengawasi. Pada hari Jumat dan Sabtu saya baru bisa ikut. Semunya saya serahkan kepada menejemen, sutradara, saya hanya mengawasi saja,” jelasnya.
Baru setelah pensiun ia sudah mulai bisa terjun langsung mengasi jalannya pementasan Ludruk Karya Budaya.
Sejak berdiri, Ludruk Karya Budaya berhasil merebut hati penontonnya dengan parikan dan kidungan khasnya. Seiring berjalannya waktu, pemainnya silih berganti. Pemain generasi awal yang tersisa tinggal 3 orang. Dua orang pemain ludruk, Cak Naswan dan Sapari. Satu pengerawit, Cak Sukiman.
Untuk menjadi anggota Ludruk Karya Budaya tidak ada proses seleksi. Karena menejemen budaya tidak dikelola secara profesional. Jika ada pemain yang sudah agak loyo tidak serta merta harus diganti. Pergantian pemain dilakukan jika ada yang mengundrkan diri atau meninggal dunia.
“Saya menerapkan menjemen kemanusiaan. Misalkan pemain itu sudah lama ikut, lalu tidak ada hujan tidak ada angin say suruh keluar, kita ganti yang bagus, tidak seperti itu. Baru kalau ada yang mengundurkan diri saya carikan ganti,” ungkap Edy.
Kalau mencari ganti, kata Edy, tidak harus orang hebat atau yang terkenal. Ia lebih memilih anak- ank muda yang memiliki semangat dan tekad. “Kita pilih anak-anak muda, Makannya tidak kehabisan kader,” tandas dia.
Di era kepemimpinanya, Job terus ramai. Bahkan pernah 165 hari berturut-turut tidak berhenti pentas. “Pernah manggung 165 hari tidak berhenti, itu kan 3 bulan lamanya. Artinya kita sukses menghibur masyarakat,” jelas dia.
Kendati demikian, ia tetap berpesan kepada seluruh anggota Ludruk Karya Budaya untuk juga mencari bekerja lain. Ia tidak ingin anggota Ludruk Karya Budaya kelimpungan pada suatu waktu jika sepi job pentas.
“Saya tekankan ke anggota, juga harus bekerja lain selain ludruk. Sekarang sudah ada yang jadi petani, ada yang salon, dan sebagainya,” tukas Edy.
Sekedar diketahui, pada tahun 1969 warga Desa Canggu, Kecamatan Jetis, meminta Bantoe, seorang anggota Polsek Jetis untuk mendirikan ludruk. Mengingat, pada waktu itu memang sangat sulit untuk mendapat izin mendirikan ludruk kecuali kalau ludruk tersebut berada di bawah binaan militer.
Cak Bantoe, sapaan akrabnya, menyetujui permintaan itu. Sehingga penduduk desa Canggu mendaulat Cak Bantoe sebagai pimpinan ludruk yang diberi nama Karya budaya Mojokerto berada binaan Polsek Jetis. Berdirinya Ludruk Karya Budaya tepat 29 Mei 1969.