Kejati Jatim Pertama Kali Hentikan Penuntutan Tersangka Narkoba Melalui Restorative Justice
SURABAYA, FaktualNews.co – Pertama kali Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur menghentikan penuntutan bagi tersangka penyalahgunaan narkoba yang dalam hal ini disebut korban.
Adalah tersangka P yang secara administrasi dinyatakan layak untuk dihentikan penuntutannya melalui program Restorative Justice (RJ).
“Tersangka hanya sebagai penyalahguna narkoba untuk diri sendiri, dan tersangka ini ada ketergantungan untuk pemakaian narkoba,” kata Kajati Jatim, Mia Amiati, yang mengantarkan tersangka ke RS Menur Surabaya melakukan rehabilitasi.
Mia menjelaskan, ada berbagai pertimbangan yang membuat Jaksa Agung Muda (Jampidum) pada Kejaksaan Agung menyetujui RJ, tersangka yang diajukan Kejaksaan Negeri (Kejari) Trenggalek.
Diantaranya adalah tersangka tidak berperan sebagai produsen, bandar, pengedar dan kurir terkait jaringan gelap narkotika. Tersangka juga bukan residivis kasus narkotika dan tidak pernah terdaftar dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO).
“Selain itu, barang bukti yang sedang dihisap tersangka bukan milik tersangka melainkan milik temannya. Kemudian orang tua tersangka juga mensetujui bahwa anaknya direhab, jadi kami punya surat persetujuan dari orang tua,” ucap dia.
Adapun alasan rumah sakit menur Surabaya yang dijadikan tempat rehabilitasi adalah karena di wilayah hukum Trenggalek belum ada pusat therapy dan rehabilitasi yang dibentuk atas kerjasama antara Kejaksaan dan pemerintah daerah.
Tersangka selama masa rehabilitasi di pusat therapy dan rehabilitasi napza mitra Adhyaksa Pemprov Jawa Timur ini untuk mengatasi ketergantungan napza dengan pendekatan multi aspek yang merupakan pusat terapi one stop center dengan metode penanganan pasien.
“Jadi program rehabilitasi ini dilakukan selama tiga bulan ke depan, apabila dalam waktu tiga bulan tersangka sudah dianggap cukup masa perawatannya maka akan dipulangkan. Namun, apabila dalam waktu tiga bulan tersangka pulang atau tidak bersedia menjalani program rehabilitasi maka proses pidananya yang akan jalan (dilanjutkan penuntutan di persidangan),” beber Kajati.
Sementara Direktur Rumah Sakit Menur Surabaya Drg Dewi Fitria mengatakan, perawatan yang dilakukan selama rehabilitasi adalah dengan menjalankan program non farmakologi (psikologi, sosial, spiritual) dan juga detoksifikasi.
“Jika itu sudah dilakukan semua, maka selanjutnya akan dilakukan pengenalan lingkungan agar psikososialnya menjadi lebih baik,” ujarnya.
Sedangkan Fajar Nurhesdi, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Trenggalek, menjelaskan, tersangka itu ada empat. Tersangka pertama yang ditangkap adalah inisial A hasil pengembangan bahwa sabu dibeli dari tersangka H.
“Ketika Polres Trenggalek mendapat informasi itu menuju ke rumah tersangka H memakai sabu di rumah neneknya, kemudian didalam rumah ada tersangka P yang mengetahui tersangka H menghisap sabu sabu yang akan mengantar upah atau gaji,” jelas Fajar Nurhesdi, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Trenggalek.
Hasil pengembangan bahwa tersangka H mendapat barang haram itu dari E. Sedangkan yang direhabilitasi ini tidak ada niat untuk menggunakan sabu dan dia P diajak.
“Bahwa tersangka H mengakui bahwa barang itu miliknya dan sudah lama memakai dan saudara P ini sudah mengetahui dan sering melihat saudara H memakai sabu,” tambah dia.
Perlu diketahui, Jaksa Agung Burhanuddin telah mengeluarkan dan menetapkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung), Leonard Eben Ezer Simanjuntak beberapa waktu silam menyampaikan, pedoman pelaksanaan restorative justice penyalahgunaan narkotika ini berlaku sejak 1 November 2021.
Pedomen Nomor 18 Tahun 2021 ini, lanjut Leo, adalah menjadi acuan bagi penuntut umum guna optimalisasi penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai pelaksanaan asas dominus litis Jaksa.
Sedangkan tujuan dari ditetapkannya pedoman tersebut ditujukan untuk optimalisasi penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai pelaksanaan asas dominus litis Jaksa, sebagai pengendali perkara.
Leo menjelaskan, perbitan pedoman penerapan restoratif justice perkara penyalahgunaan narkoba tersebut dilatarbelakangi dan memperhatikan sistem peradilan pidana saat ini cenderung punitif.
Ini tercermin dari jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas (overcrowding) dan sebagian besar merupakan narapidana tindak pidana narkotika.