MOJOKERTO, FaktualNews.co – Sejumlah nasabah Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Budi Arta Mojokerto menjerit, karena simpanan tabungan mereka tidak bisa dicairkan.
Nasabah yang berstatus PNS guru itu mengaku jengkel dan resah karena uang mereka tak bisa diambil.
Para korban yang mengadu kepada pengurus KPRI Budi Arta yang baru terpilih pada bulan 2022. Mereka merasa lelah karena terus dibohongi oleh pihak karyawan KPRI Budi Arta yang bertugas sebagai kasir, Wahyu Widyawati atau akrab disapa Yayuk.
Mereka menuntut pihak karyawan KPRI Budi Arta segera mengembalikan uang nasabah yang nilainya mencapai miliaran rupiah itu.
Salah seorang nasabah KPRI Budi Arta, Abdillah mengatakan, uang pribadinya yang masuk dalam simpanan mana suka ke koperasi tersebut mencapai Rp 600 juta. Ia mulai rutin menabungkan di koperasi pada tahun 2018.
“Saya mempunyai simpanan mana suka mulai tanun 2018. Awalnya 450 juta, kemudian ada tambahan lagi, 50, 25, sampai 15 juta, secara bertahap, sampai terkumpul 600 juta pada tahun 2020,” kata pensiunan guru SD Jiyu, Kecamatan Kutorejo itu kepada FaktualNews.co, Jum’at (2/9/2022).
Selain simpanan mana suka, pria berusia 63 tahun itu juga memiliki simpanan wajib Rp 16 juta. Saat memasuki masa pensiun pada tahun 2019, ia hendak mengambil seluruh uang simpanannya.
Namun ketika meminta uang tersebut kepada Wahyu, ia mendapat penjelasan bahwa uang simpanan mana suka miliknya sudah dicairkan. Padahal dirinya mengaku tidak pernah menandatangani kwitansi pembayaran.
“Saya tidak pernah menanda tangani kwitansi uang mana suka, yang saya tanda tangani itu kwitansi uang jasa,” tandas Abdillah.
Ia menjelaskan, selama ini pernah menandatangani kwitansi kosong yang diberikan oleh Wahyu. Darisitulah ia menduga kwitansi kosong tersebut dipergunakan untuk memanipulasi data.
“Lah disitu saya baru sadar kalau kwitansi kosong yang saya tanda tangani dipergunakan untuk itu,” sambungnya.
Ketika ia hendak menarik simpanan wajib senilai Rp 16 juta pun tidak ada kepastian yang jelas. Beberapa kali mendatangi Wahyu ke rumahnya berujung pulang dengan tangan kosong. Menurut Abdillah, Wahyu berdalih menuggu antrian pencairan.
“Saya punya simpanan wajib Rp 16 juta. Waktu itu sudah saya minta, tapi katanya disuruh nunggu, antri,” ujar bapak tiga anak itu.
Rencananya, uang itu akan digunakan untuk pendidikan kuliah anaknya, namun niat itu tidak dapat terlaksana karena tidak ada kejelasan dari karyawan koperasi itu.
“Rencana buat kuliah dua anak dan satu sudah rumah tangga. Sudah saya nanti buat anak kuliah, mungkin juga membuatkan anak saya rumah,” terangnya.
Tak hanya Abdillah, pensiunan guru asal Desa Modongan, Kecamatan Sooko, Mojokerto, yang juga menjadi nasabah KPRI Budi, Suwarsih juga mengalami hal serupa.
Sejak pensiun pada tahun 2017, uang simpanan mana suka senilai Rp 150 juta tak kunjung dicairkan. Ia berulang kali menanyakan kepada Wahyu, jawabanya pun tetap sama.
“Terakhir saya minta bulan agustus 2022. Katanya nanti tunggu 3 bulan lagi. Kok lama buk? ini lo nunggu tanda tangan bendahara. Kalau tidak ada tanda tangan bendahara tidak bisa mengeluarkan uang, jawabnya begitu. Bolak balik ya begitu saja, tidak hanya bulan ini, bulsn sebelum-sebelumnya juga seperti itu,” ungkapnya sembari matanya berkaca-kaca.
Suwarsih sudah menabung sejak tahun 2014. Rencana uang Rp 150 juta itu untuk dinikmati dihari tua dan biaya pengobatan suami yang menderita penyakit diabetes. Sampai suaminya meninggal dunia bulan Juni 2022, dana yang ia nantikan itu tak kunjung dicairkan.
“Tabungan saya di Budi Arta 150 juta, kemarin katanya dijanjikan dicicil tapi sampai sekarang tidak diberi. Sampai suami saya meninggal dunia bulan Juni,” tuturnya.
Tak hanya itu, dengan uang tabuangan itu ia berkeinginan membiayai anaknya kuliah S3 program doktor.
“Anak saya sekarang masih kuliah S3 di malang masih butuh biaya, juga untuk biaya saya sendiri, mungkin juga buat naik ibadah haji,” terangnya.
Kasus ini telah dilaporkan ke Polres Mojokerto atas dugaan penggelapan uang KPRI Budi Arta oleh pengurus baru yang dipimpin Ustadzi Rois.
Menurut ketua 1 Pengurus KPRI Budi Arta, Yuswanto, hasil identifikasi sementara, total uang yang simpanan mana suka yang belum dicairkan senilai Rp 2,5 miliar dari 24 nasabah.
“Dari sekitar 24 orang (Pemilik simpanan mana suka), ada yang Rp 800 juta paling sedikit Rp 70 juta,” jelasnya.
Dampak dari dugaan gagal bayar itu membuat sebagian nasabah kelimpungan. Sebab, ada yang mengandalkan uang itu untuk modal usaha dan biaya pendidikan anak.
Selain itu, sekitar 89 anggota menjadi korban kredit fiktif. Mereka mengaku sudah tidak punya lagi pinjaman di KP-RI Budi Arta Mojokerto. “Total ada 89 orang yang namanya dipakai tapi orangnya tidak hutang. Kita mengadakan verifikasi per Kecamatan, sebagian terbukti bahwa mereka tidak hutang. Tidak tahu kemana uangnya,” ujarnya.
Yuswanto menambahkan, dalam laporan pengurus di polisi, kerugian KP-RI Budi Arta Mojokerto ditafsir sekitar Rp 11.197 miliar. “Total kerugian Rp 11.197 miliar. Modus penggunaan kas koperasi yang tidak pada tempatnya,” ungkapnya.
Sementara, Kuasa hukum KPRI Budi Arta, Herlambang Siswanto mengatakan, kasus ini masih dalam proses penyelidikan kepolisian. Setelah perkara pidana selesai, pihaknya berencana akan melanjutkan ke proses hukum perdata.
“Setelah dari pidananya ada keputusan, kita akan naikkan ke perdatanya. Informasi yang kami peroleh proses pidananya masih pemeriksaan saksi-saksi,” katanya.
Kini dirinya bersama pengurus koperasi tersebut masih menelusuri korban-korban lain. Jika ditemukan alat bukti baru akan diserahkan kepada penyidik Satreskrim Polres Mojokerto.
“Kemungkinan nnti kalau ada tambhan bukti lagi kita ajukan lagi ke Polres,” pungkasnya.
Kasus penggelapan uang koperasi tersebut mencuat ditengarai lenyapnya uang simpanan wajib, simpanan pokok dan simpanan Mana Suka milik anggota.
Padahal, simpanan-simpanan tersebut merupakan milik dari ratusan PNS guru TK, SD, SMP, SMA/SMK dan pensiunan di Kabupaten Mojokerto yang dipotong setiap bulan selama masa kerja mereka.
Sehingga pengurus KP-RI Budi Arta mengambil tindakan tegas dengan melaporkan kasus ini ke Polres Mojokerto pada 27 Juli 2022. Mereka yang dilaporkan adalah kasir atau karyawan Wahyu Widyawati dan mantan Ketua KP-RI Budi Arta Mojokerto, Malikan.