Hukum

Sidang Ke-20 Kasus MSAT, Kuasa Hukum Korban Minta JPU Tuntut Hukuman Maksimal

JOMBANG, FaktualNews.co – Perkara kekerasan seksual dengan terdakwa MSAT masuk sidang ke-20. Kuasa hukum korban dalam kasus MSAT mendesak jaksa Penuntut Umum (JPU) menerapkan tuntutan maksimal dengan pasal perkosaan.

Kuasa hukum korban, Ana Abdillah yang mengawal korban sejak awal bersama Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual, mendesak beberapa poin terhadap jalannya persidangan.

Mengulas kembali, Jumat 8 Juli 2022, tersangka MSAT secara resmi ditahan di Rutan Medaeng Kelas 1 di Sidoarjo, setelah Polda Jatim mengepung pesantren tempat tersangka menyembunyikan diri selama 15 jam.

Sidang perdana kasus MSAT telah digelar di Pengadilan Negeri Surabaya secara online pada 18 Juli 2022. Namun seiring berjalannya proses hukum, upaya viktimisasi terhadap korban terus dilakukan simpatisasi terdakwa dan tim penasihat hukumnya.

“Caranya membangun pola melakukan doxing dengan menyebar wajah para korban dan saksi di sosial media. Juga mematikan nalar simpatisan dengan narasi merusak citra baik institusi serta gagap memahami substansi hukum dalam merespons problem kemanusiaan dan kejahatan kekuasaan,” ucapnya dalam rilisnya, Jumat (30/9/2022).

Penasihat hukum terdakwa MSAT menganggap peradilan dan hukuman sosial telah selesai sebelum kasus MSAT di bawah ke pengadilan resmi.

“Jauh sebelum itu, stigma sosial terhadap para korban MSAT lebih menyakitkan, bahkan mengundang dampak trauma psikologis berkepanjangan bahkan seumur hidup. Sampai agenda persidangan ke-20 tidak ada rasa sesal yang disampaikan dan diperlihatkan terdakwa atas perilaku kekerasan seksual yang dilakukan,” Ana Abdillah.

Ditambahkan, banyak situasi yang patut dipertimbangkan untuk memperberat hukuman terdakwa. Di antaranya, terdakwa tidak pernah menghormati proses hukum dengan selalu mangkir dalam menjalani proses pemeriksaan di kepolisian.

Kemudian, terdakwa selalu menampilkan sikap arogansi. salah satunya menggelar konser musik terbuka saat statusnya DPO (daftar pencarian orang). Secara struktural, terus melakukan intimidasi, menekan korban untuk mencabut perkara.

Secara struktural, pesantren terdakwa ikut terlibat aktif mengkonsolidasikan santri pesantren untuk menyalahkan korban.

Situasi ini diperparah dengan opini yang tidak pantas ditampilkan oleh pejabat publik yang menyampaikan statemen kagum terhadap mekanisme pendidikan di pesantren, yang pernah gagap melindungi korban kekerasan seksual.

“Berangkat dari situasi tersebut, maka Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual terus mengawal proses persidangan terdakwa MSAT berjalan secara profesional, dengan mendesak jaksa Penuntut Umum (JPU) menerapkan tuntutan maksimal pasal perkosaan terhadap terdakwa MSAT,” katanya.

Lalu, Kementerian PPPA Mengawal dan terus memantau proses persidangan terdakwa MSAT dan mendukung akses perlindungan hak korban kekerasan seksual.

Komisi Yudisial menjalankan fungsi pengawasan sehubungan dengan Independensi Hakim Sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman.

“Institusi Pendidikan Responsif melindungi perempuan korban kekerasan dan menolak segala bentuk upaya diskriminatif termasuk melindungi pelaku,” pungkasnya.