JOMBANG, FaktualNews.co – Santri KH Bisri Syansuri menceritakan masa perjuangan Mbah Bisri saat agresi militer Belanda yang berperan mengatur logistik makanan untuk para pejuang.
Kisah tersebut diceritakan dalam Focus Group Discussion oleh KH. Anas Salamun. Dirinya menceritakan kisah perjuangan KH. Bisri Syansuri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Cerita yang disampaikan kepada audiens tersebut ia dapat dari ayahnya yang bernama KH. Salamun yang merupakan murid KH. Bisri Syansuri.
Dalam kisahnya, saat itu tepat pada tahun 1942, Jepang masuk ke Indonesia. KH Salamun, ayah dari Anas Salamun, atas nasihat gurunya yakni KH. Bisri Syansuri untuk kembali menuntut ilmu di Ponpes Semelo, Bandarkedungmulyo di bawah asuhan KH. Umar Zahid yang merupakan kyai zuhud yang masyhur dengan ajaran tasawuf dan suluk tarekat.
“Dalam perintah Mbah Bisri yang berbentuk surat tulisan Pegon atau Arab Jawa itu, memerintahkan ayah saya untuk masuk Laskar Hizbullah,” ucapnya Jumat (28/10/2022).
Dalam perintah tersebut, pesan yang dituliskan Mbah Bisri yang ditujukan kepada KH Salamun itu bunyinya adalah terkait berjuang memperjuangkan tanah air dan bangsa.
“Bangunlah Wahai engkau para pemuda yang terhormat, untuk melayani tanah airmu! Dengan kalianlah tanah air ini bangkit, dengan kalianlah tanah air ini bangkit, maka tinggikan jihad mu untuk menggapai yang terbaik, dengan persatuan yang berlimpah-limpah, wahai engkau para pemuda yang terhormat!” tulis KH. Bisri Syansuri dalam surat yang ditujukan kepada KH. Salamun yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Lebih lanjut, saat resolusi jihad Nahdlatul Ulama (NU) tanggal 22 Oktober 1945 yang dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan para kyai NU se-Jawa Madura di Surabaya. Salamun dan Ahmadun (adik) dan juga segenap alumni santri-santri Denanyar lain, mendapat surat perintah melalui kurir santri KH Bisri Syansuri untuk segera bersiap berangkat jihad ke Surabaya.
“Jadi memang harus bersiap jiwa raga untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru 2 bulan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,” katanya.
Selanjutnya, pada 25 Oktober 1945 di markas para kiai di perbatasan Sidoarjo-Surabaya, Salamun melihat gurunya KH. Bisri Syansuri, KH. Wahab Chasbullah, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan para kiai sepuh lain berkumpul rapat untuk mengatur barisan-barisan Laskar di sana.
“Saat ikut maju bertempur di Surabaya, Salamun dan Ahmadun (adik) sesuai perintah gurunya KH. Bisri Syansuri harus bergantian. Kalau ikut tempur di Surabaya dari markas Mbah Bisri,” ungkapnya.
Disana juga KH Bisri Syansuri jugalah yang mengatur semua logistik makanan untuk para pejuang. Makanan para pejuang itu berupa tiwul atau Gatot (yang terbuat dari ubi kayu) yang dibungkus daun pisang.
“Setelah peristiwa Surabaya tepatnya pada tahun 1947 atau di saat Agresi ke-2 Belanda. Bapak saya dapat tugas lagi dari KH Bisri Syansuri untuk menyembunyikan dan menemani KH. Wahid Hasyim (menantu beliau) di rumah bapak di Desa Turipinggir, Kecamatan megaluh,” jelasnya.
“Sekitar 4 bulan lamanya KH. Wahid Hasyim berada di Turipinggir bersama Bapak, Pak Lik, Ahmadun, Pakde Munandar dan juga penjagaan barisan Laskar Hizbullah lainnya,” ungkapnya melanjutkan.
Saat berada di Turipinggir, pada setiap malam Jumat, KH Bisri Syansuri (sang mertua dari KH. Wahid Hasyim) selalu mengirimkan hidangan matang berupa kepala kambing untuk sang menantu yang diantar 2 orang santri yang berjalan kaki 8 km jarak antara Denanyar – Turipinggir dan itu ternyata makanan kegemaran KH. Wahid Hasyim (Ayah Gus Dur)
“Dari tutur cerita Bapak saya, KH Bisri Syansuri adalah seorang kiai yang benar-benar nyata berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa ini,” pungkasnya.