JAKARTA, FaktualNews.co-Dalam persidangan perkara pidana, setelah menjalani proses mulai pembacaan dakwaan hingga tuntutan jaksa penuntut umum, majelis hakim mempunyai wewenang menjatuhkan putusan dalam sidang tersebut. Salah satu putusan yang dapat dijatuhkan oleh hakim adalah putusan bebas. Berikut ini beberapa contoh kasus pidana dengan putusan atau vonis bebas.
Kasus istri omeli suami di Karawang
Pada 2 Desember 2021, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Karawang menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa Valencya atau Nengsy Lim, ibu di Karawang yang dipidana karena mengomeli suaminya yang sering mabuk.
Valencya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dalam dakwaan tunggal penuntut umum. Putusan ini sesuai dengan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut Valencya bebas dari segala tuntutan. Valencya sebelumnya sempat dituntut satu tahun penjara.
Namun, atas atensi dari Jaksa Agung, tuntutan tersebut ditarik dan diperbaiki. JPU akhirnya menuntut Valencya bebas dari segala tuntutan. Valenscya dinyataan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kekerasan psikis dalam Iingkup rumah tangga sebagaimana Pasal 45 Ayat 1 jo Pasal 5 huruf b UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kasus pencurian kayu jati milik Perhutani
Contoh putusan bebas pada kasus pidana selanjutnya adalah dalam kasus pencurian kayu jati milik Perhutani/ Pada 25 November 2013, majelis hakim menjatuhkan vonis bebas pada Nahruddin, terdakwa pencurian kayu jati ukuran 110 x 19 cm milik Perhutani Sepanjang.
Warga Desa Sepanjang, di kabupaten Sumenep, Jawa Timur, ini dinyatakan tidak terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan, batang pohon yang diambil Nahruddin tidak memiliki nilai ekonomis bagi Perhutani karena termasuk barang yang tidak terpakai atau dibuang.
Majelis hakim menilai, sisa-sisa penebangan tidak diambil manfaatnya oleh Perhutani sehingga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan, khususnya oleh masyarakat yang turut membantu Perhutani melakukan penebangan dan pembersihan lahan yang telah dipanen.
Dalam kasus ini, Nahruddin dituntut delapan bulan penjara dan denda Rp 652.000, subsider lima bulan kurungan. Ia dinyatakan bersalah karena dengan sengaja mengangkut hasil hutan tanpa dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana diatur dan diancam oleh Pasal 78 Ayat 7 Jo Pasal 50 Ayat 3 huruf h UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Nahruddin ditetapkan sebagai tersangka pencurian kayu milik Perhutani pada 6 Agustus 2013. Kayu yang diambil Nahruddin itu ia bawa pulang dengan niatan untuk memperbaiki pintu rumahnya yang rusak.
Sebelum dibawa ke rumahnya, Nahruddin telah meminta izin kepada mandor hutan untuk membawa kayu tersebut dan diperbolehkan. Namun, dalam perjalanan pulang, Nahruddin bertemu dengan polisi hutan (Polhut) yang sedang patroli dan dituduh melakukan pencurian kayu.
Kasus penjambretan hingga korban meninggal
Pada 23 April 2014, majelis hakim PN Semarang membebaskan dua terdakwa pelaku penjambretan di Jalan Dr Wahidin, Kota Semarang, Boma Indarto dan Kuat Suko Setyono karena tidak cukup bukti. Majelis hakim menyatakan kedua terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang berujung pada meninggalnya seseorang.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai, saksi dan bukti yang dihadirkan JPU tidak mengarah pada keterlibatan pelaku. Barang bukti yang ada berupa sepeda motor Mio, tas, jaket, dan helm juga tidak bisa digunakan untuk membuktikan kesalahan para terdakwa.
Selain itu, keterangan saksi yang hadir di persidangan dinilai tidak ada yang bisa menunjukkan bahwa terdakwa telah melakukan penjambretan. Tak hanya itu, hakim pun mengambil keterangan dari keluarga terdakwa bahwa saat kejadian pada Minggu, 7 Oktober 2013 pukul 03.30 WIB, terdakwa sedang berada di rumah dan dalam kondisi tidur bersama anak-anaknya.
Sebelumnya, Boma dan Kuat dituntut 18 tahun penjara. Keduanya didakwa bersalah telah melakukan penjambretan hingga mengakibatkan korban, Rita Margianti (34) meninggal.
Kasus pencabulan mahasiswi oleh dosen sekaligus dekan
Hakim PN Pekanbaru menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa kasus pencabulan mahasiswi, Syafri Harto, pada 30 Maret 2022. Syafri Harto merupakan dosen sekaligus dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau nonaktif. Majelis hakim menyatakan, Syafri tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pencabulan terhadap mahasiswinya.
Sebelumnya, JPU menuntut Syafri Harto tiga tahun penjara atas kasus dugaan pencabulan terhadap seorang mahasiswa sebagaimana diancam dalam Pasal 289 KUHP. Kasus pencabulan Syafri terungkap setelah korban memberanikan diri bercerita melalui media sosial.
Polda Riau lalu menetapkan Syafri sebagai tersangka pada 16 Desember 2021. Atas vonis bebas ini, penuntut umum mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Namun, kasasi tersebut tidak membuahkan hasil.