Ludruk Karya Budaya : Laboratorium Hidup
Oleh: Jabbar Abdullah*
Jika diibaratkan buku, maka ludruk adalah buku yang halamannya tak berbatas. Ia telah bermetamorfosa dalam beragam rupa. Mulai dari terlisankan, tertuliskan, hingga tervisualkan. Barangkali, dalam rupa tulisan ini yang (masih) jarang dilakukan. Jika dirunut ke belakang, sangatlah sedikit dokumentasi ludruk yang berupa tulisan.
Barangkali, karena hal inilah yang menjadikan James L. Peacock ‘turun tangan’ untuk menuliskan. Termasuk juga Barbara Hatley yang rela melakukan perjalanan dari Australia menuju Indonesia untuk meriset ludruk dan ketoprak. Serta, Henricus Supriyanto, ‘doktor ludruk’ yang berbulan-bulan nginthili ikut tobongan Ludruk Kopasgat dan kemudian membukukannya.
Dan, semoga bukan yang terakhir, ada (alm) Fahrudin Nasrulloh (pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang), yang menyerahkan dirinya penuh-seluruh untuk melacak dan menuliskan riwayat ludruk Jombang. Seiring dengan berlangsungnya era percepatan, Ludruk Karya Budaya Mojokerto, sekali lagi, telah membuktikan dirinya untuk terus mau dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi kekinian.
Ludruk Karya Budaya, dalam pandangan subyektif saya, telah menjadi ‘tubuh’ yang adaptif dalam segala cuaca dan memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Hal ini tentu tidak serta merta tercipta. Ludruk Karya Budaya juga melakoni proses perjalanan yang panjang dan juga mengalami keterseokan dalam proses bertahan hidup. Proses ini, tidak dilakukan secara instan dan tidak dengan menghalalkan segala cara. Alias, pokoke urip atau sing penting tanggapan.
Pada era kepemimpinan Cak Bantu Karya, sejak berdiri tahun 1969 hingga tahun 1970-an, bisa dikatakan sebagai masa-masa sulit yang harus dihadapi oleh dia dan ludruknya. Cak Bantu Karya melakukan pembacaan terhadap situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu. Ia mencari pintu-pintu kemungkinan yang bisa dimasuki agar ludruk yang dipimpinnya tidak mati. Salah satu strategi yang ditempuhnya adalah dengan cara menyebar telik sandi di beberapa titik kota mempromosikan (nama) ludruknya.
Upaya ini ternyata cukup manjur. Meskipun tidak banyak, paling tidak upaya ini sudah mampu mendatangkan teropan. Kalau pun tidak ada yang nyanthol, maka nama ludruk Karya Budaya minimal sudah nyanthol di telinga orang-orang yang diberi informasi oleh para telik sandinya. Peran para telik sandi saat itu cukup vital dalam kerangka, meminjam istilah Afrizal Malna, “memberi bunyi” pada data.
Mereka menceritakan apa dan bagaimana ludruk Karya Budaya kepada setiap orang yang ditemui. Dari upaya sederhana itu, akhirnya pada tahun 1971 ludruk Karya Budaya di bawah pimpinan Cak Bantu Karya mampu keluar dari ‘lubang jarum’. Pesta demokrasi 1971 saat itu menjadi pintu yang baik bagi luruk Karya Budaya untuk unjuk gigi.
Partai Golkar kepincut dan mengontrak selama luruk Karya Budaya 40 hari untuk disertakan dalam kampanye. Momen tersebut juga dijadikan sebagai ajang “kampanye” untuk mengenalkan luruk Karya Budaya kepada masyarakat luas. Dari sinilah kemudian ludruk Karya Budaya perlahan tapi pasti mampu berdiri di atas kakinya sendiri dan mulai panen teropan.
Tahun 1993 Cak Bantu Karya wafat dalam usia 67 tahun dan secara aklamasi seluruh anggota memilih putra sulung Cak Bantu Karya, yakni H. Drs. Eko Edy Susanto, M. Si, yang lebih akrab dipanggil Cak Edy Karya, untuk meneruskan tongkat estafet bapaknya memimpin ludruk Karya Budaya.
Di bawah kepemimpinan Cak Edy Karya dan Ibu Hj. Suhartini inilah, ludruk Karya Budaya mengalami perkembangan yang pesat. Bersamaan dengan ulang tahunnya yang ke-33, pada tanggal 29 Mei 1999, ludruk Karya Budaya resmi menjadi Yayasan Kesenian dengan SK Notaris No.06 melalui akte Notaris Grace Yeanette Pohan, SH.
Strategi mempromosikan juga dikembangkan oleh Cak Edy Karya. Mulai dari pasang iklan di koran lokal hingga memanfaatkan teknologi informasi yang sedang berkembang saat ini. Menurutnya, ludruk harus mampu memutakhirkan dirinya agar tidak tergerus oleh ragam hiburan modern, utamanya televisi. Banyaknya teropan yang diterima ludruk Karya Budaya juga diimbangi dengan upayanya meningkatkan kualitas pertunjukannya, semisal dengan menggelar diklat tari remo, Solah Kemuning dan Mayang Rontek.
Upaya ini telah berbuah manis dengan diraihnya Penghargaan Seniman JATIM 2010 untuk kategori lembaga peduli seni (tradisi) pada tanggal 26 November 2010, di Gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur. Dan yang terakhir meraih penghargaan Achmad Bakrie Award 2012 secara langsung dari H. Aburizal Bakrie sebagai Pelestari Budaya Jawa di Ball Room, Lor In Hotel, Surakarta, pada tanggal 9 April 2012.
Prestasi tersebut tidak terlepas dari upaya tak henti-henti Cak Edy Karya yang senantiasa melakukan otokritik, baik dari dalam amupun dari luar. Setiap dua kali dalam setahun, Cak Edy Karya menciptakan ruang silaturrohim yang sekaligus dimanfaatkan untuk evaluasi. Tidak hanya itu, sesekali dalam evaluasi tersebut, tak jarang ludruk Karya Budaya juga mengundang narasumber untuk memberikan masukan dan kritik terhadap pementasan LKB.
Cak Edy Karya senantiasa menanamkan dalam benak aggotanya untuk tidak anti kritik. Sebab kritik, tentu saja yang membangun, baik untuk kesehatan proses kreatif. Kritik tajamnya sering dialamatkan kepada anggotanya yang malas dalam melakukan spelan, nyebeng dan tedean. Dengan tegas sekali dia mengatakan, bahwa jika ketiga hal ini diabaikan, apalagi ditinggalkan, maka pemain itu tidak akan maju dan akhirnya ludruknya tidak akan bertahan lama.
Menurutnya, ada pemain itu yang: mau dan mampu, tidak mau tapi mampu, tidak mampu tapi mau, serta tidak mampu dan tidak mau. Lahirnya para pemain ludruk yang handal pada masa-masa tobongan karena masing-masing pemain memiliki kesadaran yang kuat dalam menjaga tradisi spelan, nyebeng dan tedean. Ketiga hal ini berangsur-angsur berkurang semenjak prilaku ludruk tobongan hilang dan berganti menjadi ludruk teropan. Ironisnya, malah ada sebagian pelaku ludruk yang mainnya asal-asalan. Dengan kata lain, pokoke main, bayaran…moleh. Kalau sudah begini, biasanya (alm) Cak Supali mengkritik, kok jek onok umat sing koyok ngunu.
Hingga ludruk Karya Budaya berusia 45 tahun, otokritik ini terus dilakukan oleh Cak Edy Karya dan semata-mata hanya untuk mempertahankan harga diri ludruk. Jangan sampai anggotanya seperti yang tergambarkan dalam kidungan; Gerdu papak parimono// Nabuh bedhug nduk njero mbale// Mbok bapak idenana// Aku ngludruk niat nyambut gawe. Sebaliknya, Cak Edy Karya menanamkan idealisme kepada anggotanya dengan menggubah kidungan tersebut menjadi: Gerdu papak parimono// Nabuh bedhug nduk pinggir kali// Mbok bapak idennono// Aku ngludruk niat uri-uri seni tradisi.
Selain memperhatikan hal tersebut di atas, manajemen ludruk Karya Budaya juga tidak mengabaikan kesejahteraan anggotanya yang mencapai 70-an. Setiap hasil pementasan senantiasa disisihkan 700 ribu untuk nantinya dibagikan ketika menjelang hari raya. Dari besaran itu juga digunakan untuk membantu jika ada anggotanya yang sakit dan untuk santunan kematian.
Manajemen dan racikan strategi yang diterapkan oleh Cak Edy Karya dalam menghidupi ludruk Karya Budaya ternyata mampu menjadikan ludruk Karya Budaya sebagai salah satu kelompok ludruk yang disegani dan sekaligus menjadi laboratorium hidup. Ya, tidak dipungkiri, hingga berusia 45 tahun, ludruk Karya Budaya, dari beberapa kali hingga seringkali, menjadi jujugan banyak periset dan kaum akademisi.
Mereka yang meriset mengkaji ludruk Karya Budaya dari banyak sisi dan hasil kajiannya dirupakan dalam banyak bentuk. Proses riset tersebut diperkuat juga dengan menyaksikan secara langsung pementasan ludruk Karya Budaya ketika teropan. Yang dokumentasikan, salah satunya, kehadiran Barbara Hatley. Pengajar bergelar profesor di Universitas Tazmania, Australia, ini menyaksikan pementasan secara langsung ketika ludruk Karya Budaya mendapat teropan di daerah Lakarsantri, Surabaya.
Dalam konteks ini, kita sedang dipersaksikan dengan peristiwa ‘jihad kebudayaan’ yang sedang dan hingga saat ini masih dilangsungkan oleh ludruk Karya Budaya. Hasil perjuangan Cak Edy Karya dan ludruknya tidak kemudian dinikmati sendiri. Kesadaran bahwa niatan awal mereka untuk turut uri-uri seni tradisi ini dirupakan dalam wujud yang lain. Setiap kali memperingati hari jadinya, Cak Edy Karya senantiasa berupaya menggelar tasyakuran yang itu tidak hanya dimilik-nikmati sebatas anggotanya saja.
Rasa syukur ini juga dimaknai dengan berbagi kepada publik dan juga kepada manusia ludruk yang lainnya. Terkait dengan nasib ludruk itu sendiri, kegelisahan Cak Edy Karya ditumpahkan dalam gagasan yang lantas diperistiwakan. Sebagian yang lain, telah dirupakan dalam bentuk buku Ludruk Karya Mbeber Urip, karya Drs. H. Eko Edy Susanto, M. Si. Buku ini, selain mbeber uripe ludruk Karya Budaya, juga berisi tentang sikap dan pemikiran-pemikiran Cak Edy Karya terkait dengan nasib ludruk, serta tawaran-tawaran solusi. Pada sisi ini, ludruk Karya Budaya telah menjadi kelompok ludruk yang sadar literasi. Kesadaran ini tercipta mengingat keterbatasan lisan dalam menuturkan.
Setiap yang hidup akan mengalami kematian dengan segala sebabnya. Ludruk Karya Budaya yang bermarkas di Dusun Sukodono, RT.02/RW.01, Desa Canggu, Kec. Jetis, Kab. Mojokerto, nantinya juga akan mengalami kematian. Dalam Seminar Ludruk bertajuk “Menyongsong Masa Depan”, Cak Edy Karya mengingatkan, bahwa kematian ludruk bukan hanya karena matinya atau pindahnya icon atau pemain bintangnya, melainkan karena rasa andarbeni dan kerja tim dalam ludruk tidak tercipta. Inilah yang menjadi ludruk mudah sakit dan pelan-pelan akan mati.
Berangkat dari kesadaran ini pula, Cak Edy Karya masih menjaga kegelisahannya. Dia, semoga diridlai, hendak kembali membukukan gagasannya. Dia berkeinginan menulis buku tentang struktur pementasan ludruk dan sekumpulan lakon-lakon ludruk versi ludruk Karya Budaya serta membuat museum ludruk. Ludruk, dengan riwayatnya yang panjang, semestinya tidak hanya diperlakukan sebagai tontonan, tetapi semestinya juga diperlakukan sebagai ‘ilmu’. Akhirnya, Yu Juminten ketiban timba, cekap semanten atur kula.
————-
*) Penulis merupakan, pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang dan Humas Ludruk Karya Budaya Mojokerto. Alumni Sekolah Jurnalistik Kebudayaan Angkatan Ke-II di Bogor.