MALANG, FaktualNews.co – Jaminan keselamatan bagi pahlawan devisa belum sepenuhnya diperhatikan pemerintah Indonesia. Satu lagi, Tenaga Kerja Wanita (TKW) menjadi korban penyandraan oleh majikannya di luar negeri
Adalah Mistiyah (44), TKW asal Desa Gondanglegi Kulon, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang kini menjadi korbannya. Sudah 11 tahun ini, Mistiyah disandra majikannya di Kota Al Hassah, Saudi Arabia.
Selama itu, hak Mistiyah sebagai pekerja diluar negeri, terabaikan. Alih-alih bisa menerima upah layak, ibu dari satu orang anak itu tak diperbolehkan pulang menemui keluarganya di tanah air. Ironisnya, keluarga Mistiyah yang meminta bantuan Disnaker setempat sejak tahun 2015 agar anaknya bisa keluar dari rumah majikanya, terkesan bertepuk sebelah tangan. Alasanya adalah, nomor paspor Mistiyah tidak terlacak.
BACA JUGA
[box type=”shadow” ]
[/box]
“Bagaimana mungkin adik saya bisa menunjukkan paspor, sementara paspor pekerja di Arab selalu ditahan sama majikannya. Kami juga salah karena waktu itu, kita lupa untuk memfoto copy paspor adik saya dulu,” terang Masturah (52), kakak kandung Mistiyah saat ditemui beritajatim.com dirumahnya, Rabu (10/5/2017).
Seperti apa kisah Mistiyah bisa berada di Saudi Arabia? Perjalanan diawali pada tahun 2004 silam. Kala itu, Masturah sudah berada di Kota Al Hassah, Saudi Arabia lebih dulu. Setelah 7 tahun bekerja pada majikannya yang bernama Badir Rosyid Muhammad Alatas, kontrak kerja Masturah habis. Ia pun digantikan oleh adik kandungnya yang bernama Mistiyah.
Selama 11 tahun tersandera, majikan Mistiyah saat ini adalah bekas majikan yang dulu diikuti Masturah. “Majikan tersebut saat saya masih bekerja orangnya baik. Adik saya tidak pernah digaji dan nggak boleh pulang karena majikan yang sekarang sudah menganggur,” beber Masturah.
Badir Rosyid Muhammad Alatas selaku majikan Mistiyah, dulunya bekerja sebagai Satpam Perusahaan Aramco. Masturah bahkan masih ingat, gaji majikannya sebagai Satpam waktu itu, berkisar 10.000 real. Sementara Masturah digaji 800 real.
“Akhir bulan Mei 2004 saya keluar dari majikan, pulang ke Indonesia. Karena kontrak kerja sudah habis. Sebelum pulang, adik saya melanjutkan dimajikan saya. Saya dampingi dulu selama dua bulan. Saat itu gaji yang tertera pada kontrak kerja sekitar 800 real. Lalu saya pulang ke tanah air, gantian adik saya dirumah majikan yang bekerja sebagai Satpam Aramco itu,” kenang Masturah.
Masturah menduga, perangai majikanya berubah setelah tidak lagi bekerja sebagai satpam perusahaan minyak Aramco. Sehingga, hubungan baik dan hak-haknya sebagai tenaga kerja wanita, berbeda saat Masturah bekerja hingga digantikan Mistiyah adiknya.
“Adik saya masih sering nelpon, tadi pagi juga nelpon tapi sembunyi-sembunyi. Cerita kalau majikanya sudah tidak bekerja lagi sejak lama. 7 anaknya yang besar-besar juga hanya malas-malasan saja dirumah. Tidak mau bekerja. Mungkin ini yang membuat adik saya juga tidak betah tapi tidak dibolehkan pulang oleh majikanya,” tutur Masturah.
11 tahun lebih di Arab, Mistiyah tidak memperoleh bayaran sesuai pekerjaanya. Mistiyah juga tidak diperbolehkan pulang. Jika Masturah menelpon langsung majikan adik kandungnya, jawaban Badir Rosyid Muhammad Alatas hanya sekedar janji-janji belaka.
“Saya pernah nelpon langsung ke Badir Rosyid, hanya janji saja kalau adik saya akan dipulangkan. Tapi sampai hari ini ndak dipulangkan juga, gaji juga tidak pernah diberi,” imbuhnya.
Masturah berharap pemerintah bisa membantu memulangkan adik kandungnya secepatnya. Karena selama bekerja dirumah majikanya, hak dasar sebagai TKW tak bisa dipenuhi majikanya. Apalagi paspor Mistiyah, juga ditahan majikan. Saat berangkat ke Saudi Arabia, Masturah dan adiknya memakai jasa PJTKI Deka yang berkantor di kawasan Condet, Jakarta Timur.
Kini, Masturah berharap adik kandungnya bisa pulang ke rumah paling lambat sebelum lebaran tahun ini. 11 tahun tersandera dirumah majikanya, Mistiyah nyaris tak bisa menghadiri pemakaman orang-orang terdekatnya, pemakaman suaminya, hingga tak bisa melihat hari pernikahan putri semata wayangnya di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2006 silam.(beritajati/ivi)