FaktualNews.co

Sejarah Ponpes Tebuireng, Tempat Lahirnya Pesantren di Jawa

Nasional     Dibaca : 10866 kali Penulis:
Sejarah Ponpes Tebuireng, Tempat Lahirnya Pesantren di Jawa
FaktualNews.co/Rony Suhartomo/
Pondok pesantren Tebuireng, Cukir, Jombang.

JOMBANG, FaktualNews.co – Nama pondok pesantren Tebuireng yang didirikan oleh Kiai Hasyim Asy’ari diambil dari nama Dusun di wilayah Desa Cukir, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Tebuireng berasal dari kata ‘kebo ireng’ atau kerbau hitam.

Munculnya nama Tebuireng

Kenapa dinamakan Tebuireng, konon ada seorang penduduk di wilayah tersebut yang memiliki kerbau berkulit kuning.

Suatu hari, kerbau tersebut menghilang dan setelah dicari kian kemari, kerbau itu ditemukan dalam keadaan hampir mati karena terperosok di rawa-rawa yang banyak dihuni lintah.

Sekujur tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang semula berwarna kuning kini berubah menjadi hitam. Peristiwa ini menyebabkan pemilik kerbau berteriak ”kebo ireng …! kebo ireng …!” Sejak sat itu, dusun tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama Kebo Ireng.

Nah, pada perkembangan ketika penduduk dusun tersebut mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebuireng. Hingga saat ini belum diketahui kenapa bisa berubah menjadi Tebuireng.

Apakah ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut, yang banyak mendorong masyarakat untuk menanam tebu? Karena ada kemungkinan, karena tebu yang ditanam berwarna hitam maka dusun tersebut berubah nama menjadi Tebuireng.

Berdirinya Ponpes Tebuireng

Penghujung abad ke-19 banyak bermunculan pabrik milik asing, terutama pabrik gula Cukir (Tjoekir).

Para penduduk di dusun setempat, belum siap dengan era industrialisasi. Mereka menggunakan upah yang diterimanya untuk membeli minuman keras (miras). Kebiasaan mabuk-mabukan bahkan sudah membudaya di dusun Tebuireng itu.

Kondisi itu menyebabkan keprihatinan pada diri Kiai Hasyim.

Kia Hasyim kemudian membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di dusun Tebuireng. Lalu pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H (bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1899 M), Kiai Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu (Jawa: tratak), berukuran 6 X 8 meter.

Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian. Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya, Nyai Khodijah, dan bagian depan dijadikan tempat salat (musala).

Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Kehadiran Kiai Hasyim di dusun Tebuireng tidak langsung diterima dengan baik oleh masyarakat. Gangguan, fitnah, hingga ancaman datang bertubi-tubi. Tidak hanya Kiai Hasyim yang diganggu, para santripun sering diteror.

Teror itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak menyukai kehadiran pesantren di Tebuireng. Ada yang berupa pelemparan batu, kayu, atau penusukan senjata tajam ke dinding tratak.

Kondisi ini membuat para santri seringkali harus tidur bergerombol di tengah-tengah ruangan, karena takut tertusuk benda tajam. Gangguan juga dilakukan di luar pondok, dengan mengancam para santri agar meninggalkan pengaruh Kiai Hasyim.

Gangguan-gangguan tersebut berlangsung selama dua setengah tahun, sehingga para santri disiagakan untuk berjaga secara bergiliran.

Ketika gangguan semakin membahayakan dan menghalangi sejumlah aktifitas santri, Kiai Hasyim lalu mengutus seorang santri untuk pergi ke Cirebon, Jawa Barat, untuk silaturahmi dengan Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai samsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet.

Keempatnya merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. Mereka sengaja didatangkan ke Tebuireng untuk melatih pencak silat dan kanuragan selama kurang lebih 8 bulan.

Dengan bekal kanuragan dan ilmu pencak silat ini, para santri tidak khawatir lagi terhadap gangguan dari luar. Bahkan Kiai Hasyim sering mengadakan ronda malam seorang diri.

Kawanan penjahat sering beradu fisik dengan Kiai Hasyim, namun dapat diatasi dengan mudah. Bahkan banyak diantara mereka yang kemudian meminta diajari ilmu pencak silat dan bersedia menjadi murid Kiai Hasyim.

Sejak saat itu Kiai Hasyim mulai diakui sebagai bapak, guru, sekaligus pemimpin masyarakat.

Selain dikenal memiliki ilmu pencak silat, Kiai Hasyim juga dikenal ahli di bidang pertanian, pertanahan, dan produktif dalam menulis. Karena itu, Kiai Hasyim menjadi figur yang amat dibutuhkan masyarakat sekitar yang rata-rata berprofesi sebagai petani.

Ketika seorang anak majikan pabrik gula Cukir berkebangsaan Belanda, sakit parah dan kritis, kemudian dimintakan air doa kepada Kiai Hasyim, anak tersebut pun sembuh.

Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari

Dengan tumbuhnya pengakuan masyarakat, para santri yang datang berguru kepada Kiai Hasyim bertambah banyak dan datang dari berbagai daerah baik di Jawa maupun Madura.

Bermula dari 28 orang santri pada tahun 1899, kemudian menjadi 200 orang pada tahun 1910, dan 10 tahun berikutnya melonjak menjadi 2000-an orang, sebagian di antaranya berasal dari Malaysia dan Singapura. Pembangunan dan perluasan pondok pun ditingkatkan, termasuk peningkatan kegiatan pendidikan untuk menguasai kitab kuning.

Kiai Hasyim mendidik santri dengan sabar dan telaten. Beliau memusatkan perhatiannya pada usaha mendidik santri sampai sempurna menyelesaikan pelajarannya, untuk kemudian mendirikan pesantren di daerahnya masing-masing.

Beliau juga ikut aktif membantu pendirian pesantren-pesantren yang didirikan oleh murid-muridnya, seperti Pesantren Lasem (Rembang, Jawa Tengah), Darul Ulum (Peterongan, Jombang), Mambaul Ma’arif (Denanyar, Jombang), Lirboyo (Kediri), Salafiyah-Syafi’iyah (Asembagus, Situbondo), Nurul Jadid (Paiton Probolinggo), dan lain sebagainya.

Pada masa pemerintahan Jepang, tepatnya tahun 1942, Sambu Beppang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun data jumlah kiai dan ulama di Pulau Jawa. Ketika itu jumlahnya mencapai 25 ribu orang, dan mereka rata-rata pernah menjadi santri di Tebuireng. Hal ini menunjukkan batapa besar pengaruh Pesantren Tebuireng dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad ke-20.

Karena kemasyhurannya, para kiai di tanah Jawa mempersembahkan gelar ”Hadratusy Syeikh” yang artinya ”Tuan Guru Besar” kepada Kiai Hasyim.

Kia Hasyim semakin dianggap keramat, manakala Kiai Kholil Bangkalan yang dikeramatkan oleh para kiai di seluruh tanah Jawa-Madura, sebelum wafatnya tahun 1926, telah memberi sinyal bahwa Kiai Hasyim adalah pewaris kekeramatannya.

Diantara sinyal itu ialah ketika Kiai Kholil secara diam-diam hadir di Tebuireng untuk mendengarkan pengajian kitab hadis Bukhari-Muslim yang disampaikan Kiai Hasyim.

Kehadiran Kiai Kholil dalam pengajian tersebut dinilai sebagai petunjuk bahwa setelah meninggalnya Kiai Kholil, para Kiai di Jawa-Madura diisyaratkan untuk berguru kepada Kiai Hasyim.

Bisa dikatakan, Pesantren Tebuireng pada masa Kiai Hasyim merupakan pusatnya pesantren di tanah Jawa. Dan Kiai Hasyim merupakan kiainya para kiai. Terbukti, ketika bulan Ramadan tiba, para kiai dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura datang ke Tebuireng untuk ikut berpuasa dan mengaji kitab shahih Bukhari-Muslim.

Pusat kegiatan politik

Keberadaan Pesantren Tebuireng akhirnya berimplikasi pada perubahan sikap dan kebiasaan hidup masyarakat sekitar. Bahkan dalam perkembangannya, Pesantren Tebuireng tidak saja dianggap sebagai pusat pendidikan keagamaan, melainkan juga sebagai pusat kegiatan politik menentang penjajah.

Dari pesantren Tebuireng lahir partai-partai besar Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulam (NU), Masyumi (Majelis Syuro A’la Indonesia), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), serta laskar-laskar perjuangan seperti Sabilillah, Hizbullah, dan lainnya.

Pahlawan Nasional

Dua orang tokohnya, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahid Hasyim, bahkan mendapat gelar pahlawan nasional. Keduanya juga merupakan tokoh pendiri dan penerus perjuangan Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara.

Salah seorang keturunan Kiai Hasyim, yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah menjadi presiden keempat Republik Indonesia. (*)

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
S. Ipul
Sumber
tebuireng.online