Harga ‘Kepala’ Wakil Rakyat di Pilbup Jombang 2003
JOMBANG, FaktualNews.co – Rumor ‘menebar’ duit dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) tak hanya menghiasi sistem pemilihan langsung (Pilsung). Akan tetapi, kabar adanya money politik, juga sudah terjadi dalam pemilihan Bupati (Pilbup) Jombang dengan menggunakan sistem parlementer.
Biaya hingga ratusan juta harus keluar dari kantong-kantong para pasangan calon. Baik untuk membeli ‘kepala’ anggota DPRD maupun guna kebutuhan koordinasi politik. Semuanya dilakukan untuk meraih singgasana Bupati Jombang.
Dua orang pelaku sejarah politik di Kabupaten Jombang mengungkap terjadinya politik transaksional dalam (Pilbup) Jombang, Jawa Timur, periode 2003-2008. Keduanya merupakan ‘pemain’ luar yang saat itu mendukung dua pasangan calon yang turun ke medan palagan.
“Walah, sejak dulu memang sudah ada. Tapi nominalnya masih tipis-tipis kalau bahasa sekarang,” ujar salah satu pelaku sejarah yang menyaksikan langsung proses Pilbup Jombang periode 2003-2008 ini.
Politisi yang enggan disebutkan identitasnya ini menuturkan, pasangan calon (Paslon) Kepala Daerah yang diusungnya harus mengeluarkan duit hampir mencapai angka Rp 500 juta untuk kebutuhan politik. Mulai membeli suara, hingga kebutuhan ‘logistik’.
“Calon yang kita usung itu habisnya sekitar Rp 500 juta untuk ‘sangu’ orang-orang (anggota DPRD). Malah tidak sampai Rp 500 juta sepertinya,” tuturnya.
Memang, biaya money politik pada Pilbup Jombang periode 2003-2008 belum sebesar seperti yang sering diperbincangkan warga saat ini. Menurutnya, angka Rp 500 juta tergolong masih murah jika dibandingkan saat ini yang konon mencapai puluhan miliar untuk bisa menduduki kursi bupati.
“Murah memang, karena belum ada pembanding (standarisasi ‘harga’) untuk urusan money politik. Soalnya belum ada pilkada langsung,” terangnya sembari tersenyum. Sayangnya sumber ini enggan membeberkan lebih rinci, bagaimana mekanisme pembelian ‘kepala’ anggota DPRD kala itu.
Tak hanya itu, ia pun memaparkan bagaimana detik-detik menjelang proses Pilbup Jombang periode 2003-2008 yang menggunakan sistem parlementer. Ketika itu, seluruh anggota legislatif yang memiliki suara, juga dilakukan karantina oleh tim sukses pasangan calon masing-masing.
“Wah kalau mekanisme penyerahannya saya tidak bisa sampaikan. Namun yang pasti, para anggota dewan yang mendukung salah satu paslon ada yang dikarantina di wilayah Songgoriti (Kota Batu) semalaman,” ungkapnya sembari memberikan petunjuk lokasi karantina para wakil rakyat ini.
“Kalau di Kota namanya hotel, kalau di bukit namanya vila,” celutuknya.
Ada Makelar ‘Kepala’ di Pilbup Jombang 2003
Kabar adanya money politik dalam Pilbup Jombang periode 2003-2008, juga satu pelaku sejarah lainnya. Ia pun tak segan menyebut jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk pemenangan paslon.
“Kalau paslon saya, habis hampir Rp 1 miliar untuk kebutuhan membeli suara, kemudian koordinasi politik, logistik dan lain sebagainya,” ujar pria berinisial Ar ini.
Ar memaparkan, ketika itu jumlah anggota DPRD Jombang mencapai 45 orang. Jika ingin duduk di kursi Bupati Jombang, paslon harus mengantongi 50 persen plus 1 suara atau 23 suara.
“Tapi yang ‘dibeli’ lebih dari 23. Bisa jadi 30 atau bahkan di atasnya. Karena begini, kadang anggota DPRD ini sudah ada yang bawa, istilahnya ada makelarnya. Misalnya anggota dewan A, tapi dia sudah dibawa B, maka harganya double,” terangnya.
Lantas, siapa oknum makelar suara di parlemen itu? Ar enggan menjabarkan lebih detail terkait siapa-siapa oknum tersebut. Namun demikian, ia kembali memastikan jika pihak ketiga yang menjadi perantara ‘jual beli’ suara itu benar adanya.
“Itu benar dan faktanya seperti itu,” tandasnya sembari menyatakan Pilbup dengan menggunakan sistem parlemen sebenarnya tidak begitu baik jika diterapkan di era reformasi saat ini.
Politik Santun Ala Suyanto-Soeharto
Terlepas adanya praktik money politik dalam helatan Pilbup Jombang periode 2003-2008 yang digelar melakukan sistem parlemen, namun ada cerita menarik dibaliknya. Saat-saat Suyanto yang kala itu menjabat sebagai Wakil Bupati, bertarung dengan Soeharto yang menduduki kursi sekretaris daerah (Sekda) Jombang.
Ketika itu, Suyanto yang diusung PDIP memilih menggandeng Ketua DPD PAN Ali Fikri dengan dua kursi di parlemen. Sementara Soeharto memilih berpasangan dengan Ketua PCNU Jombang Tamim Romly. Lantaran PKB yang memiliki 12 kursi di DPRD dianggap mampu menjadi ‘tunggangan’ yang empuk guna menuju kursi Bupati Jombang.
Akan tetapi, prediksi itu meleset begitu jauh. Kecerdikan Suyanto dan timnya dalam berpolitik, mampu mengantarkan ‘omar bakrie’ dari tanah Bareng itu ke singgasana Pendopo Kabupaten Jombang. Suyanto-Ali Fikri menang telak dengan 27 suara dari 45 anggota dewan. Sementara Soeharto-Tamim hanya mendapatkan 17 suara dan satu suara abstain.
Meski suhu politik sangat tinggi, namun ternyata tidak membuat hubungan Suyanto dan Soeharto memburuk. Kedua politisi senior ini justru begitu akrab, hingga akhirnya Soeharto pensiun dari kursi Sekda.
“Kalau hubungan keduanya sangat baik. Baik pak Yanto maupun pak Harto, sama-sama menjaga silaturahmi. Bahkan saat menjelang pemilihan bupati tahun 2003,” ujar salah seorang PNS di lingkup Kabupaten Jombang.
Hubungan baik itu tidak hanya sebatas mulut atau saat berada dihadapan awak media sepertihalnya politisi zaman now. Kedua politisi senior ini benar-benar memiliki rasa persahabatan yang begitu kental, sehingga tak ada canggung diantara keduanya meskipun sama-sama bertarung memperbutkan kursi Bupati Jombang.
“Itu dibuktikan saat kedua calon ini pinjam-meminjam uang. Padahal saat itu dalam proses tahapan pemilihan bupati periode 2003-2008. Beliau berdua ini sangat dewasa dalam hal politik, jadi rasa permusuhan itu hanya ada dalam konteks pemilihan saja, tanpa harus keluar kemana-mana. Tidak seperti sekarang ini,” urainya menceritakan kejadian yang diaukuinya disaksikan dengan mata kepalanya sendiri.
Menurutnya, dua tokoh politik ini wajib menjadi cermin bagi poltisi-politisi masa kini. Sebab, mereka memberikan contoh yang begitu baik dalam proses perpolitikan. Sehingga, kondusifitas diantara kedua pendukung sangat terjaga, tanpa harus ada dendam membara pasca pemilihan dilaksanakan.
“Sudah saatnya kita melihat kebelakang dan menjadikan itu semua cermin. Bagaimana pak Yanto dan pak Harto ini tetap saling menjaga persahabatan meskipun bermusuhan dalam hal politik,” pungkasnya.