Menakar Adanya ‘Mahar’ dan Money Politik dalam Pilkada Langsung Jombang
JOMBANG, FaktualNews.co – Sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, kini tak lagi menggunakan sistem parlementer, melainkan dengan sistem pemilihan langsung (Pilsung). Setelah DPR RI resmi menetapkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Tak hanya dalam pilkada dengan sistem parlementer, kabar tak sedap terkait dengan adanya money politik pun kian santer dalam pilbup yang menggunakan sistem pilsung. Informasi yang didapat, hampir semua calon menggunakan politik uang dalam pesta demokrasi guna mendulang suara terbanyak.
“Kalau menurut saya, angka yang dikeluarkan calon bupati dan wakil bupati dengan menggunakan sistem pilsung ini jutru relatif sangat tinggi. Satu calon bisa mencapai Rp 40 miliar untuk bisa jadi bupati,” kata pengamat politik di Kabupaten Jombang, Solikin Ruslie, Selasa (8/5/2018).
Jika melihat biaya politik dalam pilkada sistem parlemen, besaran uang yang dikeluarkan calon relatif lebih murah. Karena mereka tidak harus melakukan kampanye dan pengenalan secara terbuka guna mendapatkan simpati dari masyarakat. Sehingga masyarakat percaya tertarik untuk memilihnya saat proses pemungutan suara dilakukan.
“Kalau pilkada langsung, jangan ngomong money politik dululah, kita bicara soal ‘tiket’ saja. Tidak mungkin kalau tidak ada mahar untuk rekomendasi partai. Belum lagi biaya saksi, kebutuhan alat peraga, dan kampanye, sudah berapa yang harus dikeluarkan,” imbuh dosen Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang ini.
Banyak munculnya calon diluar kader partai dalam sistem pilkada langsung menjadi salah satu dasar penguat adanya ‘mahar’ untuk bisa mendapatkan rekomendasi. Tidak sedikit partai yang memiliki jumlah kursi lumayan di DPRD memilih untuk mengusung calon lain di luar kader dalam Pilkada Jombang.
“Salah satunya PDIP saat ini. Kenapa tidak mengusung Mas Sumrambah sebagai calon, atau sebaliknya kenapa Mas Rambah lebih memilih lewat Demokrat padahal kalau ingin mengambil suara dari PDIP juga bisa. Karena saya yakin, secara jaringan hingga tingkat DPP keluarga pak Yanto tidak bisa diragukan lagi,” urainya.
Biasanya para kader partai yang tak mengambil rekom diduga lantaran tingginya biaya yang dikeluarkan, lebih memilih untuk melompat ke partai lain yang pengeluarannya lebih ringan. Sehingga, cost yang dikeluarkan paslon untuk kebutuhan pilkada relatif lebih sedikit.
“Karena selain tiket, mereka juga harus mengeluarkan untuk kebutuhan kampanye. Belum lagi, jika memang menerapkan strategi money politik atau vote buying. Inikan yang menjadi biaya pilkada itu mahal. Coba dihitung saja berapa jumlahnya, kalau DPT 977.676 jiwa berapa yang harus dikeluarkan,” jelasnya.
Sementara, informasi yang dihimpun FaktualNews.co, adanya ‘mahar’ dan money politik dalam pilkada langsung memang sudah menjadi rahasia umum. Mulai masyarakat kelas pinggiran hingga tengah kota, vote buying sudah menjadi tradisi dalam momentum pilkada.
Besarannya pun cukup bervareasi. Untuk rekom partai misalnya, biasanya paslon dikenakan biaya hingga ratusan juta. Tergantung dengan jumlah besaran kursi di parlemen. Namun, ada juga yang menggunakan metode lain tanpa menghitung kursi di DPRD, yakni dengan modal jumlah suara dalam pemilihan legislatif sebelumnya.
Sementara besaran nominal vote buying dalam Pilbup Kabupaten Jombang, bisa mencapai angka Rp 20 ribu sampai 35 ribu perkepala. Tergantung dengan wilayah menurut hasil pemetaan tim sukses paslon itu sendiri.
“Itu fakta, itu realitanya, namun memang sulit untuk pembuktiannya. Karena memang sudah menjadi kebiasaan dalam dunia politik di Jombang, bahkan juga di daerah lain. Inilah yang membuat banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi, karena harus mengembalikan modal yang dikeluarkan saat Pilbup,” paparnya.
Lantas bisakah angka Rp 40 miliar yang disebutkan Solikin Ruslie itu kembali? Mantan anggota DPRD Jombang periode 2009-2014 itu menyatakan jika itu sangat mudah. Apalagi dengan jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jombang yang mencapai Rp 2,4 Triliun.
“Bisa sekali dong, coba sampean tanya sama kontraktor-kontraktor itu, berapa ‘maharnya’ untuk tiap proyek. Kalau saya dengar 10-15 persen. Anggap saja 10 persen. Kalau 50 persen APBD untuk belanja pegawai dan lain sebagainya, sedangkan 50 persen untuk infrastruktur, setahun berapa yang didapat?,” jelasnya sembari menyebutkan ‘peluang’ lain yang diambil kepala daerah guna mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
“Belum lagi dari ‘permainan catur’ dengan pejabat alias mindah-mindah jabatan, Rp 40 miliar setahun sudah kembali, selanjutnya izin mendirikan perusahaan dan lain-lain, jadi biaya segitu mudah sekali. Jadi jangan heran jika bupati memiliki banyak mobil mewah, kemudian asset dimana-mana,” sindirnya.
Untuk itu, Solikin Ruslie sangat sepakat jika mekanisme Pilbup dikembalikan lagi ke parlemen. Meskipun pihaknya mengakui jika sistem parlementer sendiri tidak bisa menjamin adanya money politik atau jual beli kepala wakil rakyat. Namun, yang pasti bisa lebih menekan besaran angka yang dikeluarkan paslon.
“Memang ada kekurangannya, tapi soal kualitas pemimpinnya saya meyakini akan jauh lebih baik. Karena biaya yang dikeluarkan lebih sedikit. Kemudian DPRD dan juga tokoh masyarakat bisa menguji secara langsung kelayakan mereka. Sistem parlementer juga sesuai dengan demokrasi Pancasila, karena menggunakan musyawarah mufakat,” tandasnya.
Kabupaten Jombang untuk pertama kalinya melangsungkan Pilbup secara langsung pada 23 Juli 2008. Tiga paslon merebutkan suara sebanyak 961.945 hak pilih. Suyanto yang diusung PDIP memilih berduet dengan Widjono (ToNo). Sedangkan paslon kedua yakni Nyono Suherli Wihandoko-Halim Iskandar. Sementara paslon ketiga yakni pasangan Soeharto-Mudjib Mustain.
Paslon Suyanto-Widjono mendulang suara terbanyak pada pilkada tersebut dengan jumlah perolehan 353.255 suara. Kemudian disusul Nyono-Halim yang diusung Partai Golkar, PKB dan PKS dengan perolehan 241.678 suara. Sementara paslon Suharto-Mudjib yang diusung Demokrat dan 10 partai non parlemen memperoleh 36.482 suara.
Selanjutnya pilkada yang dihelat pada 5 Juni 2013. Pesta demokrasi 5 tahunan sekali itu juga diikuti juga tiga paslon. Nyono Suharli Wihandoko-Mundjidah Wahab, yang melalui Golkar, PPP, Demokrat, PKS dan Gerindra sukses memenangkan pertarungan politik dengan perolehan 401.576 suara.
Kemudian Paslon Widjono-Sumrambah yang diusung PDIP hanya memperoleh 234.819 suara. Sedangkan paslon Munir Alfanani-Wiwik Nuriati yang diusung PKB dan PKPI hanya, memperoleh 38.039 suara. Dalam pilkada tersebut, Daftar Pemilih Tetap (DPT) mencapai 998.463. Sedangkan suara tidak sah mencapai 27.307 dari total pemilih hadir 701.741 suara.