Berani Tinggalkan Golput
Oleh : Mahbub Ghozali, M.Th.I
PEMILIHAN umum 2018 akan dilakukan serentak besok, Rabu 27 Juni 2018 di 154 Kabupaten/Kota dan 17 provinsi untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.
Bagi para calon, hari ini adalah kesempatan bagi mereka untuk mengukur sejauhmana efektifitas usaha yang dilakukan beberapa bulan terakhir. Sedangkan bagi pemilih, momen ini adalah momen menentukan untuk menyerahkan nasib dan kesejahteraan mereka kepada pemimpin baru hingga lima tahun kedepan.
Fenemena Golput (golongan putih) yang menjangkiti masyarakat Indonesia berawal dari aksi protes mahasiswa dan pemuda dalam pelaksanaan Pemilu tahun 1971. Golongan ini menamakan dirinya sebagai golongan putih karena sikap mereka yang mencoblos bagian putih dikertas suara.
Fenomena ini kemudian berkembangan dan memiliki sikap dan makna baru. Keengganan masyarakat hari ini dilakukan dengan cara bersikap pasif dengan tidak menghadiri tempat pemungutan suara. Banyak usaha yang dilakukan penyelenggara pemilu bersama pemerintah untuk mengurangi fenomena ini yang semakin meluas, dinilai sia-sia.
Jika mengaca pada beberapa pemilu sebelumnya, tingkat kehadiran pemilih semakin tahun, semakin berkurang. Hal ini berarti bahwa angka golput semakin tinggi.
Hal yang dibutuhkan untuk menekan golongan ini adalah memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa pemilu adalah bagian dari usaha kita untuk berperan aktif dalam proses keikutsertaan dalam mengatur negara.
Pemimpin Ideal
Memilih pemimpin selain merupakan kewajiban sebagai warga negara, juga diwajibkan secara Agama. Kewajiban ini didasarkan pada kewajiban untuk ikut serta dalam menciptakan keteraturan dalam kehidupan bernegara yang diistilahkan dalam bahasa agama sebagai al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar (menyuruh berbuat baik dan melarang kemungkaran).
Untuk melakasanakan tugas ini tidaklah mudah diperlukan konsistensi dan kesempurnaan tujuan. Pemimpin seharusnya memerankan fungsinya sebagai bagian penting dari satu sistem pemerintahan. Dalam al-madinah al-fadilah-nya al-Farabiy, pemimpin diibaratkan sebagai jantung yang mengendalikan segala gerak dari segala bagian tubuh yang lain. Agar tubuh memiliki performa maksimal, maka jantung harus dalam kondisi prima.
Begitu juga dengan masyarakat, harus dapat memilih pemimpin yang dipandang prima untuk membawa mereka ke kehidupan yang lebih sejahtera. Momen ini menjadi kesempatan kita untuk ikut menentukan arah kehidupan kita kedepan.
Keengganan untuk pergi ke TPS ataupun meyambut pesta demokrasi yang hanya berlangsung lima tahun sekali, seharusnya tidak ternoda dengan hanya berdasar pada sifat apatis. Sifat yang seolah-olah membenarkan diri sendiri atau berasumsi bahwa satu suara tidak memiliki pengaruh terhadap kehidupan masa depan atau bahkan bentuk protes atas ketidak setujuan atas sistem pemilihan bahkan ketidak sukaan terhadap calon-calon yang ada.
Memilih pemimpin bahkan diantara yang terburukpun masih bernilai wajib, karena hal tersebut dinilai sebagai bentuk usaha untuk menciptakan ketentraman dan keadilan dalam masyarakat.
Penulis
Mahasiswa Program Doktoral Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya