JOMBANG, FaktualNews.co – Tengara adanya praktik jual beli Surat Keputusan (SK) pegawai honorer atau pegawai kontrak, tak hanya terjadi di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemkab Jombang, Jawa Timur.
Sejumlah sumber menyebut jika, di RSUD Jombang, praktik serupa juga terjadi. Kendati sesuai dengan PP Nomor 48 tahun 2005 pasal 8 jo PP Nomor 43 tahun 2007 serta Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 814.1/169/SJ tanggal 10 Januari 2013, pemerintah pusat melarang Pemda untuk merekrut tenaga honorer.
“RSUD Jombang tahun 2017 lalu secara terang-terangan melakukan perekrutan tenaga kontrak. Bahkan sempat disampaikan ke publik. Padahal jelas-jelas itu dilarang,” tutur Koordinator Forum Honorer Kategori 2 (K2) Ipung Kurniawan, Senin (6/8/2018).
Ipung menuturkan, ketika itu pihaknya sempat mengajukan audiensi ke DPRD Jombang, perihal perekrutan tenaga kontrak baru di RSUD Jombang. Namun, ketika itu pihak manajemen rumahsakit pelat merah ini menyatakan jika RSUD Jombang berhak melakukan rekrutmen, karena berstatus BLUD.
“Meskipun BLUD, semestinya tidak perlu melakukan rekrutmen pegawai baru. Karena PP dan surat edaran menteri itu sangat jelas. Selain itu, kalau memang diperbolehkan, kenapa tidak mengakomodir tenaga honorer K2 saja kalau memang sama-sama mau melakukan pengangkatan. Artinya RSUD Jombang tidak mengakui keberadaan honorer,” paparnya.
Sementara itu, sumber FaktualNews.co dalam rekrutmen tersebut, disinyalir ada dugaan suap. Mereka yang ingin masuk dan diterima menjadi pegawai di rumahsakit pelat merah itu, harus menyetorkan sejumlah uang kepada oknum pejabat melalui calo.
“Dulu memang pernah ditawari jadi pegawai di RSUD Jombang, namun saya harus bayar sekitar Rp 40 juta. Sebenarnya saya mau, karena dijamin 3 tahun jadi pegawai kontrak, gajinya sama dengan PNS dapat tunjangan juga,” tutur Eka, salah seorang lulusan perawat di Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang.
Namun, setelah ditunggu-tunggu, oknum calo yang juga pejabat di pemerintahan itu tak kunjung datang kembali. Lantaran, pada awalnya, Eka enggan memberikan uang muka sebagai tanda jadi. Ketika itu, dirinya mengaku bersedia membayar, jika sudah pasti masuk menjadi pegawai kontrak di RSUD Jombang.
“Pokok katanya dia punya koneksi dengan orang dalam. Entah itu hanya akal-akalan dia atau apa saya tidak tahu. Yang jelas dia juga pejabat pemerintah,” tandasnya.
Praktisi Hukum : Pemkab Jombang Jago Manipulasi Regulasi
Rekrutmen tenaga honorer atau tenaga kontrak baru di Pemkab Jombang, dianggap melanggar regulasi yang ada. Namun, menurut praktisi hukum Sholikin Ruslie, hal itu lantaran kecerdikan Pemkab Jombang dalam memanipulasi regulasi yang ada.
Padahal, pemerintah dengan tegas melarang adanya rekrutmen honorer atau pegawai kontrak baru sesuai PP Nomor 48 tahun 2005 pasal 8 jo PP Nomor 43 tahun 2007 serta Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 814.1/169/SJ tanggal 10 Januari 2013
“Inilah bentuk manipulasinya. Memang tidak bisa disalahkan dengan manipulasi tersebut. Karena mereka (RSUD Jombang) menganggap yang dilarang adalah mengangkat tenaga honorer sementara yang mereka angkat adalah tenaga kontrak. Mungkin alasan itulah sehingga mereka berkelit,” katanya.
“Sementara dari sisi legalitas Pemda yang mengangkat tenaga adalah benar karena yang diangkat bukan honorer tapi tenaga kontrak,” imbuh Direktur Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang.
Namun demikian, mantan anggota DPRD Jombang dari Fraksi PKB itu menyebut, Pemkab Jombang bisa disalahkan jika melihat regulasi tentang larangan tersebut dari sisi subtansi. “Karena sebenarnya berdasarkan ketentuan itu, substansinya adalah jangan membebani keuangan daerah dengan cara mengangkat tenaga yang tidak sangat mendesak. Untuk itu di dalam surat edaran Mendagri dijelaskan bahwa, jika Pemda ngeyel, maka tenaga kontrak tidak boleh menuntut untuk diangkat menjadi pns,” paparnya.
Selain itu, menurut Solikin, dalam regulasi tentang larangan pengangkatan tenaga honorer atau kontrak, kecuali sopir dan tenaga keamanan, tidak ada yang pengecualian tentang BLUD diperbolehkan untuk melakukan rekrutmen. Hal ini kontrapoduktif dengan pernyataan pihak RSUD Jombang saat menggelar audiensi dengan Komisi D DPRD Jombang dan Forum Honorer K2 Jombang.
“Sepanjang yang saya baca kok tidak ada ketentuan pengecualian seperti itu ya. Dari sudut pandang hukum jelas merupakan bentuk kolusi dan nepotisme, bahkan juga pemerasan dan penyalahgunaan jabatan. Karena persoalannya bukan saja pengangkatan, mereka tidak diperkenankan peraturan perundang-undangan akan lebih dari itu mereka harus membayar dengan jumlah tertentu. Mereka yang mau bayar sangat mungkin juga ada iming-iming suatu, misalnya akan diangkat menjadi PNS padahal itu tidak mungkin, maka ini merupakan bentuk penipuan,” jelas Solikin.
Tak hanya itu, Solikin Ruslie juga menyebutkan, jika kekeliruan atau memang sengaja mengelirukan pemahaman dalam mencerna regulasi ini akan memberikan dampak yang buruk bagi pemerintahan Kota Santri. Sehingga, ia pun mendesak agar Pemkab Jombang tidak sembrono dan memahami aturan secara substantif, bukan hanya tekstual semata.
“Persoalan rekrutmen tenaga yang tidak kualified (honorer/kontrak yang tidak melalui seleksi) ini juga akan jadi penghambat Jombang untuk maju dan berprestasi, karena kualitas dan kapasitasnya pas-pasan,” tandasnya.