Walhi: Eksplorasi Lapindo di Jombang Harus Dihentikan
SURABAYA, FaktualNews.co – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, mendesak PT Lapindo Brantas menghentikan eksplorasi minyak dan gas (migas) di Dusun Kedondong, Desa Blimbing, Kecamatan Kesamben, Jombang.
Ketua Walhi Jatim, Tri Jambore Christanto, menuturkan ada beberapa alasan yang mendasari eksplorasi gas di Jombang harus dihentikan. “Pertama Lapindo sejauh ini memiliki track record buruk dalam eksplorasi migas,” katanya, kepada FaktualNews.co, Selasa (28/8/2018).
Kedua, lanjut pria yang akrap disapa Rere ini, dampak buruk yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar sangat besar dan sulit ditanggulangi. Kemudian, masih banyak wilayah hak eksplorasi Lapindo Brantas yang bebas dari pemukiman warga.
“Tiga hal itulah yang tersambung dan menjadi kajian utama mengapa rencana eksplorasi PT Lapindo Brantas di wilayah Jombang, bukan hanya ditinjau ulang tetapi harus dihentikan,” tegas Rere.
Menurutnya, Lapindo Brantas dalam usaha eksplorasi migasnya pernah menciptakan kerusakan ekosistem luar biasa. Di Porong, Kabupaten Sidoarjo contohnya. Rere menyebut, kerusakan tidak hanya terjadi pada lingkungan semata, melainkan banyak dimensi kehidupan yang menjadi korban eksplorasi migas Lapindo Brantas yang saat ini dikenal dengan semburan lumpur Lapindo Porong.
“Track record eksplorasi migas Lapindo Brantas sangat buruk,” ucap Rere.
Resiko eksplorasi di kawasan padat penduduk
Kasus semburan lumpur Lapindo di Porong Kabupaten Sidoarjo, kata Rere seharusnya dijadikan pembelajaran oleh pemerintah sehingga tidak serta merta dengan gampangnya memberikan izin kegiatan pengeboran, terutama dikawasan padat huni. “Di Jombang kondisi ini serupa, yang dilakukan di wilayah pemukiman,” katanya.
Bila kegiatan eksplorasi di wilayah padat penduduk tetap dilakukan, ia khawatir kasus semburan lumpur Lapindo Porong bakal terulang, dengan dampak dan resiko yang sangat besar. Karena baginya, setiap usaha pertambangan memiliki tingkat resiko tinggi sehingga keselamatan masyarakat menjadi hal utama.
“Kalau mau belajar dari kasus (semburan lumpur Lapindo Porong), jangan memberi izin aktivitas pertambangan yang memiliki resiko tinggi di kawasan padat penduduk,” tegas alumnus Universitas Brawijaya tersebut.
Sebenarnya, Lapindo Brantas dijelaskan Rere memiliki rentang wilayah eksplorasi sangat besar hingga ke perairan Pulau Madura. Di kawasan itulah, sambung dia, seharusnya bisa dilakukan pengeboran Migas yang notabene tidak memiliki cakupan resiko bagi masyarakat secara langsung. “Harusnya wilayah-wilayah ini yang dieksplorasi bukan di wilayah yang dekat pemukiman,” tuturnya.
Karena bukan soal semburan lumpur semata yang rawan terjadi ketika gagal dilakukan pengeboran dan berdampak kepada masyarakat, tapi juga bahaya lain seperti keracunan gas. Kasus ini disampaikannya pernah terjadi di Kabupaten Bojonegoro.
“Di Bojonegoro, masyarakat keracunan ECM menyebar dan masyarakat banyak yang mengalami sakit,” ungkap pria kelahiran Surabaya ini.
Izin lingkungan harus libatkan masyarakat
Hal lain yang disoroti Walhi, soal izin yang diberikan pemerintah, Rere menilai perlunya keterlibatan masyarakat setempat. Karena kembali ia tegaskan, masyarakat lah yang paling merasakan dampak negatif kegiatan eksplorasi.
“Tingkat partisipasi masyarakat ini sering diabaikan,” kata Rere.
Padahal, setiap aktivitas kegiatan apakah pembangunan maupun eksplorasi seperti yang akan dilakukan di suatu wilayah selalu ada berpedoman pada Free, Prior, Informed and Concent (FPIC) yakni persetujuan bebas tanpa paksaan, masyarakat setempat berhak menentukan apakah suatu proyek pembangunan dapat dilaksanakan atau ditolak atau mereka menentukan syarat-syarat untuk pelaksanaan proyek tersebut melalui pengambilan keputusan lewat musyawarah.
“Setiap aktivitas pembangunan apapun dia harus mendapat persetujuan dari masyarakat yang sudah terinformasikan dengan bebas,” ujar dia.
Pada kasus ekplorasi Lapindo di Jombang, sepengetahuannya hal itu tidak dipakai. “Hampir tidak ada aktivitas yang sekarang dilakukan dengan menunggu persetujuan masyarakat,” lanjutnya.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab terkait rencana eksplorasi Migas ini jika benar bakal diimplementasikan? kata Rere, mereka adalah pemerintah beserta turunannya.
“Pertama Kementerian ESDM, yang kedua BP Migas, pemerintah daerah bertanggung jawab juga jika dia memberi izin lingkungan kemudian BLH terkait rekomendasi AMDAL,” tutupnya.
Untuk diketahui, PT Lapindo Brantas melakukan eksplorasi migas di Dusun Kedondong, Desa Blimbing, Kesamben, Jombang, Jawa Timur. Atas rencana itu, warga setempat yang tergabung dalam Forum Warga Peduli Lingkungan dan Agraria (FORPALA) bersama Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya menolaknya.
PT. Lapindo Brantas fokus pada eksplorasi dan produksi minyak dan gas di Indonesia di Blok Brantas, Jawa Timur, beroperasi di bawah Kontrak Bagi Hasil dengan Pemerintah Indonesia. Lapindo didirikan pada tahun 1996 dan beroperasi sebagai anak perusahaan dari PT. Energi Mega Persada Tbk., perusahaan energi yang dimiliki oleh Grup Bakrie.
Hingga berita ini diterbitkan, upaya konfirmasi FaktualNews.co kepada pihak PT Lapindo Brantas, belum memberikan jawaban.