FSPMI Mojokerto Tolak Usulan Kenaikan UMK Mojokerto 2019, 8,03 Persen
MOJOKERTO, FaktualNews.co – Dewan Pengupahan Kabupaten Mojokerto mengadakan rapat pembahasan rekomendasi upah minimum tahun 2019 di Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mojokerto di jalan Pemuda Kecamatan Mojosari pada hari Selasa 6 Oktober 2018 lalu.
Acara tersebut dilakukan lantai 2 kantor Disnaker. Rapat dipimpin langsung oleh Plt Kepala Disnaker Nugraha Yudhi Sulistya dan dihadiri berbagai elemen dewan pengupahan yang terdiri dari perwakilan pengusaha, serikat pekerja dan instansi terkait.
Dari hasil rapat, Pemkab Mojokerto mengusulkan kenaikan UMK 2019 Kabupaten Mojokerto sebesar 8,03% atau dirupiahkan senilai 3.851.983,38. Hal itu mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 tentang Pengupahan dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja mengenai penyampaian nilai pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.
Meskipun sebagian besar Dewan Pengupahan menyepakati hasil rapat namun dengan tegas FSPMI Mojokerto menolak usulan tersebut. Melalui perwakilannya di Depekab yaitu Eko Nugroho, FSPMI menolak menandatangani berita acara hasil rapat. Eko menganggap nilai rekomendasi yang dihasilkan tidak mencerminkan upah yang layak dan berkeadilan serta menjadi bukti ketakutan Pemkab yang tidak beralasan.
“PP Nomor 78 dan SE Menaker itu tidak mengakomodir kondisi dan kebutuhan riil ekonomi buruh, dasar kenaikan upah cuma sebatas nilai asumsi. Usulan kami berupa item peningkatan kualitas yang tahun kemarin sudah berjalan, ternyata tahun ini tidak dipakai. Ini sebuah penurunan, Kami menolak dan tidak menyepakati usulan tersebut,” kata Eko, Senin (12/11/2018).
Terpisah, Ketua Konsulat Cabang FSPMI Mojokerto Ardian Safendra menyampaikan, PP 78 itu tidak sesuai tujuannya. Menurutnya, telah terjadi penurunan upah yang mengakibatkan daya beli jatuh, disparitas semakin menganga, PHK dimana-mana dan perusahan banyak yang pindah ke tempat yang upahnya lebih murah. “Omong kosong dengan upah layak yang keadilan, PP 78 wajib dicabut,” sambungnya.
Menurut Ardian, daerah yang usulannya mengacu pada PP 78 sama artinya mengekor pemerintahan pusat untuk melanggar undang-undang. Sebab penentuan upah itu dihitung dari kebutuhan riil buruh bukan saklek hanya pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi.
Dia mencontohkan kebutuhan air bersih yang dalam KHL hanya 2 meter kubik per bulan, yang menurutnya hanya cukup untuk mandi 2 hari saja. Selain itu, tahun kemarin disepakati rumah kontrakan, sekarang KHL kembali dihitung kamar kost. FSPMI yang meminta kualitas item KHL-nya diperbaiki justru ditolak.
“Daerah yang mengusulkan UMK berdasarkan PP 78 dan SE Menaker, sama saja telah memiskinkan masyarakatnya. Mereka lebih peduli pada pengusaha bukan pada rakyatnya. Maka berdasarkan survey FSPMI mengusulkan UMK Mojokerto 2019 sebesar 4,2 juta. Itu nilai yang riil, layak dan berkeadilan,” tandasnya.
“Bupati jangan takut dipecat karena mengusulkan upah yang layak. Dia kita yang pilih kok. Lha kalau buruhnya miskin, apa nanti juga tidak menjadi beban pemerintah daerah lagi? Mbok ya mikir. PP 78 itu ibaratnya lingkaran setan yang ketemu setan,” jelas Sutikno, buruh FSPMI.