Ekonomi

Bagaimana Hukum Marketplace? Begini Pandangan Fikihnya

 SURABAYA, FaktualNews.coMarketplace berasal dari kata market yang berarti pasar, dan place yang berarti tempat. Jadi, marketplace adalah ibarat sebuah tempat untuk melakukan transaksi berbasis pasar. Apa yang ada di pasar? Sudah barang tentu jawabnya adalah ada transaksi jual-beli antara dua pihak yang saling bertransaksi.

Dalam jual-beli, disyaratkan harus adanya mu’awadlah, yaitu pertukaran harga dengan barang. Adanya harga dan barang yang saling ditukarkan ini menjadi pembedanya pertukaran yang tanpa disertai dengan adanya harga. Dalam Kitab al-Taqrîrâtu al-Sadîdah disebutkan:

Mu’âwadlah: dengannya dikecualikan pengertian hibbah. Karena dalam mu’awadlah terdapat dua pihak yang saling menukarkan barang, yaitu dari jalur pembeli ada harga, dan dari jalur penjual ada barang yang dihargai, sehingga seolah terjadi ini harga bagi barang ini. Berbeda dengan hibbah, yang mana penyerahan hanya dilakukan oleh salah satu pihak.”

(Hasan ibn Ahmad ibn Muhamnad al-Kaff, al-Taqrîrâtu al-Sadîdah fî Masâili al-Mufîdah, Riyâdl: Dâr al-Mîrâtsi al-Nabawy, 1420 H: 10)

 

Ada beberapa hal yang umum dapat kita kenali dari ciri marketplace dalam kasus jual beli online.

Pertama, ada marketplace yang hanya berfungsi sebagai tempat menjual barang dan menjadi fasilitator (perantara) pihak penjual dan pembeli melalui penyediaan tata cara pembayaran. Biasanya pihak marketplace jenis ini menyerahkan sepenuhnya masalah barang yang diperjualbelikan dan sekaligus deskripsi produknya kepada penjual lewat akun yang dimilikinya di marketplace tersebut.

Pihak marketplace juga menyediakan fasilitas chatting antara penjual dan pembeli sehingga keduanya bisa saling tawar menawar harga. Setelah ditemui adanya deal, maka pihak marketplace hanya menyediakan fasilitas berupa rekening bersama tempat melakukan pembayaran.

Contoh marketplace seperti ini, misalnya adalah Bukalapak, Tokopedia, Shopee, Lazada, Bibli, JD.ID, Amazon dan, Rakuten. Mungkin masih ada lagi marketplace yang lain yang belum disebutkan dengan ciri yang sama seperti di atas.

Kedua, ada marketplace yang hanya memfungsikan diri sebagai tempat bagi pemilik barang untuk “menitipkan” barangnya guna dijual. Pemilik barang hanya berkewajiban menyediakan produk serta klasifikasi atau spesifikasi barang kepada pihak marketplace. Kendali sepenuhnya proses jual beli ada pada pihak marketplace. Contoh dari marketplace seperti ini adalah Zalora dan Berrybenka.

Jadi, sampai di sini bedakan antara marketplace dengan jenis pertama dengan marketplace jenis kedua. Marketplace jenis pertama bergerak dalam fasilitator dan penjamin. Sementara marketplace kondisi kedua berperan selaku penjual dan barang diperoleh dari orang lain yang menjadi suppliernya. Dengan demikian, akad yang terbangun antara keduanya juga berbeda.

Marketplace jenis pertama berperan dalam akad kafâlah selaku kafîl (penjamin) dari penjual dan pembeli, sekaligus berperan sebagai mudlârib (pengelola).

Yang ditanggung apanya? Yang ditanggung adalah perimbangan dalam transaksi jual beli. Yang dikelola apanya? Yang dikelola adalah promosi barang lewat jasa iklan yang dimilikinya yang mana dalam hal ini, pemilik lapak dalam marketplace tersebut menyewa (ijârah) peran marketplace untuk mempromosikan lapaknya ke netizen.

Marketplace jenis kedua berperan selaku mudlârib (pengelola) murni. Dengan demikian, ada akad kemitraan (syirkah) di dalamnya. Syirkah yang terbentuk adalah syirkah wujûh, dengan asumsi bahwa pihak pemilik barang mempercayakan barangnya kepada provider untuk memasarkan dan menjualnya.

Apapun kedudukan dan jenis marketplace, akan tetapi tanggung jawab marketplace secara umum dalam transaksi online dapat dikelompokkan sebagai berikut, yaitu:

  1. Tanggung jawab penjaminan terhadap akad jual beli (al-dlammân fî ‘aqd al-bai’)
  2. Tanggung jawab penjaminan dalam akad sewa (al-dlammân fi ‘aqdi al-îjâr)
  3. Tanggung jawab terhadap akad perwakilan (al-dlammân fi ‘aqd al-wakâlah)
  4. Penjaminan terhadap perilaku penjual dan pembeli (dlammân al-fi’l al-syakhshy)
  5. Penjaminan atas tindakan pihak ketiga (dlammân fi’l al-ghair)
  6. Penjaminan atas barang, meliputi selamatnya barang yang dibeli dengan menggunakan jasanya (dlammân al-asy-ya’)

 

Artikel ini ditulis oleh Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan diunggah di NU Online.