LAMONGAN, FaktualNews.co – Dugaan korupsi yang melibatkan mantan bendahara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lamongan Irwan Setyadi memasuki babak baru.
Mantan bendahara selaku terdakwa bernyanyi dalam sidang lanjutan di pengadilan Tipikor Surabaya.
Dalam keterangannya, terdakwa mengaku jika dirinya tak merasa mengembalikan uang hasil korupsi senilai hampir Rp. 1 miliar lebih itu ke Kejaksaan Negeri (Kejari). Padahal sebelumnya Kejari telah merilis, jika terdakwa atas nama sudah mengembalikan kerugian uang negara.
Kuasa Hukum terdakwa saat menggelar jumpa pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum di Lamongan mengaku, apa yang telah disampaikan terdakwa memang berdasar. Pihak kejaksaan selaku jaksa penuntut umum (JPU) tidak bisa menunjukkan bukti, baik berupa kuitansi pembayaran yang diminta majelis hakim.
“Klien kami bersaksi di pengadilan Tipikor dia mengakui bahwa dia korupsi tapi hanya sekitar Rp. 200 juta saja,” kata Nihrul Bahi Al-Haidar, kuasa Hukum terdakwa, Kamis (11/6/2020).
Selain itu dalam fakta persidangan juga menyebutkan bahwa kejaksaan tidak bisa menyampaikan dari mana uang senilai hampir Rp. 1 miliar itu dikembalikan.
Fakta lain, katanya, terdakwa juga mengaku jika masing-masing anggota dan ketua KPU tahun 2015 juga menerima fee atau uang THR dengan total uang senilai Rp 200 juta.
“Atas rekomendasi dari kuasa pengguna anggaran atau dalam hal ini temen-temen sudah tahu siapa dia, meminta agar anggota dan ketua KPU diberikan uang THR,” ungkap Gus Irul panggilan akrab Nihrul Bahi Al-Haidar.
Kini kasus yang masih dalam persidangan itu, PH berharap fakta-fakta dalam persidangan dijadikan bahan pertimbangan bagi hakim, agar terdakwa bisa dijatuhi vonis ringan.
“Kami berharap majelis hakim tipikor dapat menyeret nama baru dalam kasus yang telah mengakibatkan kerugian negara hampir 1 miliar tersebut,” pungkas Gus Irul.
Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri (Kejari) Lamongan, Subhan, terkait hal tersebut mengatakan, di persidangan Tipikor tidak disampaikan terdakwa menggunakan uang tersebut untuk apa. “Sidang sifatnya terbuka di PN Tipikor, jadi terserah yang mengikuti persidangan pasti tahu sendiri apa yg di sampaikan terdakwa,” kata Subhan.
Lebih jauh Subhan menambahkan, seharusnya secara profesional, apabila ada keberatan, tanggapan, sanggahan dan lain-lain disampaikan di muka persidangan.
“Disana ada Majelis Hakim dan JPU juga terdakwa. Apa karena tidak mampu berargumen di persidangan jadi perlu dukungan yang lain,” kata Subhan.
Dalam kasus dugaan penyelewengan dana hibah Pilkada Lamongan 2015 senilai Rp 1,2 miliar itu sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan 4 orang saksi. Satu dari 5 orang yang direncanakan hadir nyatanya berhalangan dan tidak hadir dalam persidangan.
“Ada beberapa awak media yang kami mintai keterangan terkait kasus tersebut,” pungkas Subhan.