SURABAYA, FaktualNews.co – Sidang kasus dugaan pencabulan dengan terdakwa Hanny Layantara, pendeta Gereja Happy Family Center kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (14/9/2020). Dengan agenda pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dalam sidang tersebut, JPU menuntut terdakwa 10 tahun penjara, subsider enam bulan dan denda Rp 100 juta sesuai Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak Tahun 2002.
Hal ini seperti yang disampaikan Abdurrachman Saleh, selaku penasihat hukum terdakwa diluar sidang.
“Tadi adalah dituntut 10 tahun, sesuai Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak Tahun 2002,” ujar Abdurrachman Saleh.
Ia menyampaikan, besar kecilnya tuntutan yang dikemukakan oleh JPU merupakan hak selaku penuntut umum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Sehingga pihaknya selaku pembela dari terdakwa, tidak patut mengintervensi tuntutan.
Kendati demikian, ia menyebut, tuntutan yang diajukan oleh JPU dalam perkara ini tidak didasari pembuktian secara fakta hukum materiil. Hanya berdasarkan bukti petunjuk kesaksian dari orang yang tidak langsung mengetahui terjadinya peristiwa pencabulan yang didakwakan kepada kliennya. Dan menurutnya, bukti seperti itu sangat subjektif.
“Bukti petunjuk itu kan masih remang-remang secara hukum. Memang dibolehkan di KUHP seperti itu memang boleh, (tapi) peristiwa yang didakwakan itu kan secara faktual kan tidak kelihatan. Tidak ada fakta hukum yang menyatakan secara hukum bahwa dia (saksi) mengetahui peristiwa pidana, tapi mendengar-mendengar dari pihak lain. Namanya mendengar saya kira kan sangat subjektif sekali,” bebernya.
Sementara ditanya soal adanya hal yang memberatkan dalam tuntutan JPU, dikatakan Abdurrachman Saleh, cukup banyak. Salah satu terkait penyangkalan terdakwa bahwa yang bersangkutan tidak melakukan pencabulan terhadap korban.
Ihwal inipun kembali ditegaskan Abdurrachman Saleh, bagian dari hak yang melekat pada JPU pada proses hukum.
“Dan saya kira itu hak, saya tidak bisa menghalangi,” tandasnya.
Selanjutnya, ia mengatakan juga akan menyampaikan berbagai pembelaan yang akan dikemukakan dalam sidang tanggapan atas tuntutan jaksa di sidang berikutnya.
“Tentu nanti akan kita bela secara kerangka hukum dengan fakta-fakta yang muncul di persidangan,” tutupnya.
Seperti diketahui, kasus dugaan pencabulan yang didakwakan kepada Hanny Layantara berawal ketika korban berinisial IW (26), akan melangsungkan pernikahan.
Keluarga IW menyampaikan, bahwa pemberkatan pernikahan akan dilangsungkan di gereja yang dipimpin Pendeta Hanny Layantara. Namun dengan histeris IW menolak keras jika pemberkatan dipimpin Pendeta Hanny Layantara. IW ternyata menyimpan trauma berat atas perbuatan bejat sang pendeta kepada dirinya.
Akhirnya, Jeanie Latumahina, aktifis perempuan kemudian mengawal kasus ini. Bersama korban, ia membuat laporan polisi ke Polda Jatim pada 20 Februari 2020, dengan nomor LPB/ 155/ II/ 2020/ UM/ SPKT Polda Jatim.
Pada hari Sabtu 7 Maret 2020, Sang pendeta dibekuk jajaran Ditreskrimum Polda Jatim di rumah temannya yang ada di Waru, Sidoarjo Jawa Timur. Saat itu, tersangka yang telah dinyatakan buron tersebut hendak melarikan diri ke Amerika Serikat.