SUMENEP, FaktualNews.co – Pemerintah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, menggelontorkan dana sekitar 8,941 miliar dari APBD tahun 2018 untuk pembelian tanah.
Lahan seluas 1,6 hektare yang berlokasi di sebelah barat SKB Batuan itu direncanakan untuk membangun Pasar Tradisional.
Proyek pengerjaan fisik pun dimulai dengan membuat pagar. Pembangunannya, ditaksir menelan anggaran sebesar Rp600 juta dari dana alokasi khusus (DAK) tahun 2019.
Tanah yang awalnya dibeli dari RB Mohammad dan Mohammad Zis itu justru belakangan menuai polemik. Pasalnya, R. Soehartono, putra sulung mantan Bupati Sumenep, R. Soemar’oem juga mengklaim sebagai pemilik sah tanah tersebut.
Kepala Bidang (Kabid) Perdagangan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumenep, Ardiansyah Ali S menyatakan, sebelum Pemkab Sumenep melakukan proses pembelian tanah, pihaknya mengklaim sudah melakukan kajian strategis soal kepemilikan sah tanah.
“Pembelian tanah ini kan sudah melalui tahapan yang mengarah bahwa tanah legal, atas nama si A itu,” ungkapnya, beberapa waktu lalu.
“Maka Pemkab Sumenep memberanikan diri lah karena legal standingnya jelas, akhirnya kita beli,” imbuhnya.
Meski demikian, Ardi tidak menampik bahwa saat ini, kepastian atau kelanjutan pembangunan Pasar Tradisional Batuan belum ada titik terang. Sebab, antar kedua belah pihak sama-sama mengklaim bahwa tanah itu adalah miliknya.
“Kami sudah melimpahkan kewenangan soal itu ke Kabag Hukum Pemkab Sumenep untuk kelanjutan prosesnya. Kalau tidak salah memang ada tuntutan di pengadilan. Makanya kemudian pembangunan sementara ditahan dulu, kita pending,” sebutnya.
Pengamat kebijakan publik dari Surabaya Institute Governance (SIGn) Iwan Lesmana menyebut seharusnya Pemkab Sumenep telah melakukan kajian matang sebelum proses pembayaran dilakukan kepada RB Mohammad dan Mohammad Zis.
Jika tidak demikian, jelas dia, pembelian lahan itu terkesan dipaksakan bahkan terkesan menghamburkan uang.
“Mestinya dikaji dan ditelaah dulu itu tanah legalitasnya punya siapa. Kalau sudah bersengketa begitu kan lucu,” kata Iwan Lesmana, saat dikonfirmasi media ini, Jumat (12/2/2021).
Iwan menambahkan, dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan telah disebutkan beberapa mekanisme hukum yang harus dilakukan pemerintah dalam kasus sengketa, konflik dan perkara pertanahan.
“Harusnya itu sudah ada hasil yang jelas sehingga bisa diketahui oleh publik. Siapa yang legal soal tanah itu,” ungkapnya.
Untuk itu, kata dia, pemerintah mestinya terbuka lebar kepada masyarakat soal kelanjutan nasib Pasar Tradisional Batuan tersebut. Dengan demikian tidak akan muncul stigma negatif di akhir kepemimpinan Bupati Sumenep, A Busyro Karim.
“Win-win solution untuk itu memang harus disegerakan. Jangan sampai rakyat tak percaya pada pemerintah,” tukasnya.
Hal senada disampaikan Ketua Komisi II DPRD Sumenep, Subaidi. Dia menyebut Pemkab Sumenep terkesan grasah grusuh dalam pembelian lahan.
Pembelian tanah itu dia nilai tanpa melalui tahapan yang seharusnya dilakukan oleh eksekutif, seperti mengecek status tanah hingga status kepemilikan yang sah di mata hukum.
“Kenapa kalau belum jelas (lahan,red) langsung dikeluarkan anggarannya. Kami sangat menyayangkan ini,” tegas Subaidi, saat diwawancara usai sidang paripurna, Selasa (16/2/2021).
Disinggung mengenai peran legislatif dalam mengontrol realisasi program tersebut, politisi dapil II ini menyebut bahwa eksekusi realisasinya tetap di eksekutif.
“Walaupun DPRD yang menyetujui tapi eksekusinya kan tetap ada di pemerintah daerah,” imbuhnya.
Berdasarkan hasil kajian dan penelusuran pihaknya saat melakukan inspeksi mendadak (Sidak) pada tahun 2019 lalu, ditemukan bahwa status kepemilikan tanah kedua belah pihak sama-sama dibuktikan dengan keberadaan akta jual beli (AJB) tanah.
Dalam hal ini, kedua belah pihak disinyalir kuat memiliki legal standing hukum soal kepemilikan tanah yang masih bersengketa tersebut. Mestinya, pemerintah tidak terburu-buru mengeluarkan anggaran sebelum status hukum jelas.
“AJB ada dua, hanya nomornya yang berbeda. Ini aneh tapi nyata. Saya cermati hanya nomornya yang berbeda. Contoh yang satu nomor 10 yang satunya nomor 11. Sama sama pegang AJB,” urainya.
Dengan status pembelian tanah seluas 1,6 hektar itu, lanjut dia, pemerintah sudah mengalami kerugian baik waktu maupun manfaat. “Seharusnya uang itu bermanfaat. Kalau hitung-hitungan bisnis harusnya sekian tahun sudah dapat berapa, tapi kalau hitung-hitungan manfaat itu tidak bermanfaat,” keluhnya.
Untuk itu, pihaknya meminta kepada pemerintah agar polemik tersebut segera diselesaikan supaya tidak timbul kecurigaan mendalam dari seluruh rakyat.
“Kalau benar AJB yang dipegang penjual, pemerintah harus segera bergerak dan bertindak sesuai rencana, kalau tidak, pemerintah harus bertanggungjawab seperti apa nanti, apakah bisa dipidanakan atau tidak,” ungkapnya.
“Yang jelas pemerintah salah membeli tanah itu karena tanpa melalu tahapan yang jelas sehingga menimbulkan konflik sampai sekarang,” tegasnya.