Gaya Hidup

Cerita Penjual Roti di Bondowoso, Bersedekah Tiap Hari Meskipun Jualan Sepi

BONDOWOSO, FaktualaNews.co – Sepasang kaki pria lanjut usia (lansia) yang mengayuh pedal sepeda itu berhenti ketika sampai di tepian jalan sekitar pertigaan Nangkaan, Kecamatan/Kabupaten Bondowoso.

Sejurus kemudian dia turun dari sadel dan menstandarkan sepeda ontelnya yang memboncengkan kotak kaca bertuliskan ‘Roti Goreng Rp 1.000’.

Pria kurus berpeci rajutan berbentuk bulat itu lalu melayani pelanggan yang membeli rotinya. Terdengar percakapan ringan dan senyum merekah terlihat di wajahnya.

Usai menerima uang dari pembeli, ia duduk di sebuah tempat duduk di trotoar, mengeluarkan bungkusan plastik berisi rajangan tembakau kering.

Selang beberapa menit, kepulan asap keluar dari mulutnya. Dia mempertahankan senyumnya ketika berbincang dengan penulis siang itu.

“Sebentar lagi waktunya pulang. Roti sudah habis. Alhamdulillah,” ungkapnya usai menghisap dalam-dalam asap putih itu.

Pak Imam, begitu orang memanggilnya. Nama aslinya adalah Syahri. Usianya sudah menginjak 60 tahun, namun tenaganya masih kuat.

“Saya keliling jualan roti goreng setiap hari selama 20 tahun. Ya ngontel begini. Ngambil dari Tamansari keliling sampai ke Badean,” ungkap warga Desa Jambesari, Kecamatan Jambesari Darusolah itu.

Kakek 3 cucu ini mulai mengayuh sepeda sejak pukul 06.00. Dia berangkat dari rumahnya ke produsen roti goreng sejauh 5 kilometer.

“Sekali ambil antara 150-250 roti. Jam 7 pagi saya keliling, sampai Badean PP. Kalau laris, Zuhur sudah balik. Tapi kalau sepi, ya bisa sampai asar, kadang ada sisa,” paparnya.

Kendati demikian, Syahri menikmati pekerjaan yang dilakoninya selama dua dekade itu.

“Saya gak perlu modal. Kalau ada sisa, bisa dikembalikan ke perusahaan. Kalau 200 roti terjual, saya dapat untung Rp 87 ribu,” sebutnya.

Ia mengakui bahwa usaha dagangnya pasang surut, selayaknya usaha lain. Namun ia tak patah semangat dan tak tergiur bidang usaha lainnya.

“Kita tidak akan tentram jika selalu melihat hasil usaha orang lain. Misal saya, keliling jualan roti dapat Rp 87 ribu, terus melihat orang kerja bangunan dapat Rp 100 ribu, terus iri dan pindah. Ini salah,” tuturnya.

Sebab yang dinilai merupakan hasilnya saja, bukan perjuangannya. Sementara prinsip Syahri, setiap orang memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.

“Bisa jadi memang saya ahlinya dagang begini. Ketika jadi kuli, malah gak bisa dapat hasil banyak. Jadi lebih baik menerima dengan ikhlas saja,” ujarnya.

Ada lagi ‘jurus ampuh’ Syahri untuk bisa menikmati pekerjaannya, yakni selalu bersedekah setiap hari, walaupun sebesar Rp 1.000 – Rp 2.000.

“Niatkan sedekahnya untuk orang tua kita. Jadi misal pagi itu ada tukang becak mau beli Rp 2 ribu, itu saya kasih gratis. Niat saya sedekah masing-masing Rp 1.000 untuk bapak dan ibu saya,” katanya.

Kebiasaan ini dilakukan setelah kedua orang tua Syahri meninggal. Dia menyesal melakukan itu setelah berpulang keduanya ke Allah SWT.

“Seharusnya sejak masih hidup, sudah rutin sedekah atas nama orang tua. Selain buat amal orang tua, itu juga bagus buat rezeki dan ketentraman hati kita,” paparnya.

Bapak dari 4 anak ini menganggap bahwa tidak ada istilah orang tidak mampu bersedekah. Sebab, menurutnya, ukuran sedekah adalah ikhlas bukan nominal yang diberikan.

“Kalau saya kan gak bisa sedekah Rp 100 ribu per hari. Duitnya gak cukup. Ya bisanya cuma sedekah roti, itu saja. Meski cuma seribu rupiah dua ribu rupiah per hari, yang penting ikhlas dan istikamah. Insyaallah berkah,” tuturnya. (Deni Wijaya)