FaktualNews.co – Politik anggaran Amerika Serikat (AS) sedang bergolak. Pemerintahan Presiden, Joseph ‘Joe’ Biden, sedang berupaya menggolkan kenaikan batas utang (debt ceiling) agar roda eksekutif tetap berjalan dan Negeri Paman Sam terhindar dari shutdown.
Batas utang pemerintah AS saat ini ada di US$ 28,4 triliun. Dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 14.244 seperti kurs tengah Bank Indonesia 21 September 2021, angka itu menjadi Rp 404.529,6 triliun.
Dilansir dari CNBC Indonesia, Kubu Partai Demokrat di Kongres AS berkomitmen mendukung pendanaan anggaran negara melalui kenaikan batas utang. Namun kubu oposisi Partai Republik memberikan ‘perlawanan’. Kubu Grand Old Party menolak rencana pemerintahan Biden yang akan memasukkan dana US$ 3,5 milar (Rp 49,85 triliun) untuk program pemulihan ekonomi.
Apabila batas utang tidak dinaikkan hingga 1 Oktober 2021, maka pemerintahan AS terpaksa ditutup sementara karena ketiadaan anggaran. Jika terwujud, maka akan menjadi shutdown ketiga dalam satu dekade terakhir.
Pemerintah AS membutuhkan tambahan utang untuk berbagai keperluan. Mulai dari membayar gaji aparat pemerintahan, penanggulangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), hingga membayar bunga utang. Jika sampai AS gagal bayar utang alias default, maka bisa menjadi bencana bagi pasar keuangan global.
“Kita bisa meminjam dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan banyak negara. Default akan membuat situasi menjadi rumit. Ini akan membuat biaya utang menjadi naik dan bisa berdampak kepada rakyat. Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), kartu kredit, menjadi lebih mahal kalau terjadi default,” tegas Janet Yellen, Menteri Keuangan AS, sebagaimana diwartakan Reuters.
Salah satu pos yang menguras kas negara AS adalah sektor pertahanan. Tahun lalu, AS keluar duit US$ 724,64 miliar (Rp 10.321,77 triliun) untuk kebutuhan pertahanan.
Dalam lima tahun terakhir, anggaran pertahanan AS rata-rata naik 4,25% per tahun. Lebih tinggi dibandingkan rerata lima tahun sebelumnya yang turun 3,16% setiap tahunnya.
Sejak serangan Al-Qaeda pada 11 September 2001, AS aktif dalam perang di berbagai negara atas nama pemberantasan terorisme. War on Terror, begitu slogan yang digaungkan Negeri Adidaya.
War on Terror diawali dengan menyerbu Afganistan. Saat itu, negara tersebut tengah dikuasai kelompok Taliban (yang kini kembali ke pucuk kekuasaan). Taliban dituding melindungi Osama Bin Laden, bos besar Al-Qaeda.
Setelah Taliban berhasil dijatuhkan, AS melanjutkan misi ke Irak. Washington menuding rezim Saddam Hussein punya hubungan dengan Al-Qaeda sehingga harus ikut ditumbangkan.
Setelah Osama Bin Laden terbunuh di Pakistan pada 2011, musuh baru AS adalah kelompok Negara Islam Irak-Levant (ISIS). War on Terror pun berlanjut, sampai sekarang.
Namanya perang pasti ada korban jiwa. Total kematian akibat War on Terror dalam 20 tahun terakhir ditaksir mencapai 900.000 orang.
“Perang ini sudah terlalu lama, mengerikan, dan tidak berhasil. Perang masih berlangsung dan melibatkan lebih dari 80 negara,” tegas Catherine Lutzm Guru Besar Brown University.
Presiden Biden menyadari bahwa War on Terror sudah terlalu lama dan mahal. Oleh karena itu, Biden berkeras untuk menarik pasukan AS dari Afganistan
Tidak hanya nyawa, War on Terror juga menguras sumber daya. Perang itu mahal, bung. Harga sebuah kemenangan tidaklah murah.
Mengutip kajian Brown University, total biaya yang dikeluarkan AS selama War on Terror mencapai US$ 8 triliun (Rp 113.950 triliun). Artinya, total duit yang keluar akibat perang menyumbang 28,17% dari total utang. Hampir sepertiga
“Kami tidak lagi punya tujuan jangka panjang dalam misi di Afganistan. Setelah lebih dari US$ 2 triliun (Rp 28.488 triliun) yang dikeluarkan di Afganistan, warga AS harus mendengar ini. Saya tidak mau mengirim putra-putri AS ke perang yang seharusnya sudah lama selesai,” tegas Biden, seperti dikutip dari Reuters.
Meski nantinya War on Terror berakhir, tetapi beban anggaran AS masih berlanjut. Pemerintah AS tetap harus mengeluarkan uang US$ 2,2 triliun (Rp 31.336,8 triliun) untuk membiayai tunjangan veteran dan memperbaiki kerusakan lingkungan.
“Apa sebenarnya yang sudah kita capai selama 20 tahun setelah 9/11? Berapa harga yang harus kita bayar? Dua puluh tahun dari sekarang, kita masih menghadapi konsekuensi dari perang di Afganistan dan Irak,” kata Stephanie Savell, Senior Research Associate di Watson Institute, seperti dikutip dari keterangan tertulis