Rebo Wekasan, Kesulitan dan Keselamatan
SURABAYA, FaktualNews.co – Rabu Wekasan, Rebo Wekasan, atau Rebo Pungkasan adalah nama hari Rabu terakhir di bulan Sapar pada Kalender Jawa.
Beberapa aktivitas dilakukan selama hari ini, antara lain tahlilan (zikir bersama), berbagi makanan baik dalam bentuk gunungan maupun selamatan, sampai salat sunah lidaf’il bala (tolak bala) bersama.
Namun demikian, dikutip dari Wikipedia, beberapa kalangan NU, salat sunah lidaf’il bala ini mulai mengalami perubahan dengan disarankan tidak lagi diniatkan untuk memperingati Rebo wekasan, tetapi sebagai salat sunah sebagaimana salat lainnya saja.
Di Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Rebo pungkasan dianggap sebagai perayaan berlimpahnya ikan. Perayaan ini juga dianggap sebagai upaya menolak bala bagi para nelayan selama melaut.
Awalnya Rebo pungkasan merupakan upacara tradisional yang pada mulanya dilakukan di tempuran (tempat bertemunya dua sungai) Gajah Wong dan Opak, yang berhubungan dengan mitos Sultan Agung saat mengadakan pertemuan dengan penguasa pantai selatan yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Karena kemudian dirasakan menimbulkan efek negatif, acara tersebut digeser menjadi acara mengarak gunungan lemper diiringi arak-arakan.
Dalam salah satu artikelnya di NU Online, Hikmatul Luthfi menyatakan, Rabu terakhir bulan Safar galib di bumi Nusantara disebut dengan istilah rebo wekasan, rebo kasan, rebo pungkasan, atau istilah lain yang merujuk pada maksud yang sama yaitu hari Rabu akhir di bulan Shafar.
Terdapat amaliah yang biasa dilaksanakan pada hari tersebut yang mencakup salat, zikir, doa, dan tabarruk dengan asma Allah atau ayat-ayat Al-Quran yang dikenal dengan ayat Selamat.
“Amaliyah tersebut dilakukan sebagai bentuk permohonan kepada Allah SWT agar terhindar dari segala macam musibah dan cobaan,” kata akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin, Banten tersebut.
Menurutnya, Bulan Safar adalah nama salah satu bulan dalam kalender Hijriah yang berdasarkan penanggalan Qamariyyah. Bulan ini terletak setelah bulan Muharram dan sebelum bulan Rabi’ al-Awwal.
Pada saat itu, sebagian orang Arab menyebut bulan Safar dengan sebutan najiz. Mereka merasa sial (-tasya’um) dengan bulan tersebut. Oleh karena itulah datang hadits Nabi sebagai bantahan kepada mereka:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنْ الْأَسَدِ
“Tidak ada ‘adwa, thiyarah, hamah, shafar. Dan menjauhlah dari orang yang kena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hikmatul Luthfi menyatakan, manusia diperintahkan untuk tidak mencaci, menghina, dan mencela waktu karena sebab Allah sang pencipta, pengatur, dan penguasa waktu.
“Hendaklah beriman kepada qadha dan qadar-Nya, baik ataupun buruk, manis ataupun pahit, dan senang maupun dukanya,” tulis Himlatul Luthfi.
Dia menambahkan, maka dari itu secara umum tentang waktu adalah sebagaimana Hadits Qudsi:
يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي الأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ (رواه البخاري و مسلم)
“Anak Adam menyakiti-Ku karena mencela masa atau waktu. Padahal Aku yang mengatur dan menetapkan waktu. Di tangan-Ku lah segala urusan waktu. Aku yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Bukhari dan Muslim)