Tragedi Gerbong Maut, Sejarah Memilukan Pejuang Bondowoso Saat Agresi Militer
BONDOWOSO, FaktualNews.co – Tragedi gerbong maut melekat pada masyarakat Kabupaten Bondowoso. Pada agresi militer 1 itu, puluhan pejuang tewas akibat kepanasan dan kehabisan oksigen di dalam gerbong kereta api.
Tragedi ini sejak puluhan tahun lalu dipentaskan oleh seniman lokal Bondowoso setiap November dan biasanya bertempat di alun-alun.
Group Apresiasi Seni (GAS) Bondowoso yang terbentuk tahun 1978 membuat drama kolosal rutin tentang tragedi Gerbong Maut itu.
“Oleh sebab itu, kami riset berdasar penuturan langsung dari keluarga almarhum para pejuang. Rata-rata ke anaknya. Itu agar data yang kami dapat benar-benar akurat. Tapi kami menolak jika disebut sejarawan. Kami hanya melakukan riset untuk kebutuhan pementasan,” papar Ketua GAS Bondowoso Junaidi, Minggu (17/10/2021).
Bang Jun, sapaan akrabnya, yang merupakan ketua generasi ke empat di GAS Bondowoso ini menggali sejarah itu.
“Pada saat itu, Bondowoso dikuasai oleh Belanda pada 20 Juli 1947. Tepatnya pada agresi militer 1, tentara Belanda turun di Pasir Putih Situbondo,” kata pria 46 tahun ini.
Ada dua koloni yang menyisir dari Situbondo menuju Jember. Koloni 1 tujuannya Situbondo – Bondowoso – Jember, sementara koloni 2 dari Situbondo – Probolinggo – Lumajang – Jember.
“Pada Senin, 20 Juli 1947 sore, Belanda menguasai PG (pabrik gula) Prajekan Bondowoso. Markas Batalyon Pasukan Semut Merah, direbut Belanda dan penjajah bermalam di sana,” ungkapnya.
Kemudian, pada Selasa, 21 Juli 1947 pagi buta, pasukan Belanda dari PG Prajekan menuju ke Bondowoso. Di perjalanan itu terjadi pertempuran, termasuk di Kecamatan Tapen, Klabang, Wonosari dan lainnya.
“Selama perjalanan banyak sabotase dari pejuang untuk menyerang. Belanda naik kendaraan, truk-truknya, dan dibarengi pesawat-pesawat tempur,” tuturnya.
Siang harinya, pusat pemerintahan Bondowoso berhasil dikuasai. Tidak ada perlawanan berarti, sebab pejuang terlanjur menyebar ke wilayah-wilayah, termasuk ke pegunungan, sehingga Bondowoso mudah direbut.
“Pejuang-pejuang yang ada di gunung putri lalu berkoordinasi ingin merebut lagi. Terjadi perang gerilya. Pos-pos Belanda disabotase,” paparnya.
Akibat aksi itu, Belanda kewalahan dan melakukan penangkapan kepada para pejuang, dengan tuduhan pengacau dan ekstrimis.
“Yang ditangkap dari golongan tentara, kelaskaran, rakyat biasa dan politisi. Mereka ditangkap dan dimasukkan ke penjara,” katanya.
Total ada 700 an rakyat Indonesia di Bondowoso yang diringkus Belanda dan dipenjara sementara di masing-masing kecamatan, memanfaatkan gudang, kantor pos dan lainnya.
“Setelah itu ratusan pejuang itu dihimpun dan dijebloskan di penjara Bondowoso. Dikarenakan penuh, Belanda mengirim tahanan ke penjara Kalisosok Surabaya untuk dipekerjakan. Nah, Tragedi Gerbong maut adalah kiriman ketiga,” tutur warga Desa/Kecamatan Curahdami ini.
Menurutnya, pada pengiriman pertama dan kedua tidak ketat. Di setiap stasiun diberi air. Sedangkan di pengiriman ketiga sangat ketat karena perjuangan masif dari para pejuang Indonesia, sehingga Belanda tidak ambil risiko untuk membuka gerbong.
“Pada pengiriman ketiga, dibawa 3 gerbong. Gerbong 1 namanya GR 5769 berisi 32 orang, GR 4416 berisi 30 orang, dan GR 10152 berisi 38 orang,” terangnya.
Sesampainya stasiun Kalisat Jember, ada pergantian lokomotif kecil ke lokomotif yang lebih besar. Para pejuang yang disandera dijemur 1-2 jam di dalam gerbong saat terik matahari.
“Kesaksian keluarga dari pejuang di dalam gerbong 1 dan 2, bahwa di gerbong 3 kala itu sudah tidak ada suara. Sedangkan di gerbong 1 dan 2 masih ada yang menjerit meminta tolong buka pintu,” ucapnya.
Di dalam gerbong 3 tidak ada yang mengetahui apakah saat itu para pejuang sudah meninggal. Sebab tidak ada saksi, karena di akhir perjalanan semua pejuang di gerbong 3 meninggal dunia.
“Perjalanan berlanjut. Sampai di Jatiroto sempat hujan. Ada pejuang yang menjilati sisa air hujan di lubang-lubang gerbong bahkan minum kencing temannya sendiri yang namanya pak Singgih (penuturan keluarga),” bebernya.
Ada juga penuturan bahwa seorang pejuang selamat sebab saat masuk gerbong melihat lubang kecil di gerbong. Lubang itu kemudian dilebarkan sedikit demi sedikit menggunakan garpu.
“Jadi saat masuk pertama kali di gerbong, pejuang itu menempelkan hidungnya ke lubang itu, sehingga sampai di stasiun Surabaya selamat,” jelas Jun.
Kereta api maut itu pun sampai di Wonokromo sekitar pukul 20.00 WIB. Saat gerbong dibuka, puluhan pejuang meninggal dunia di dalam gerbong.
“Gerbong 1 selamat semua, di gerbong 2 meninggal 8 orang dan gerbong 3 yang berisi 48 orang seluruhnya meninggal dunia. Jadi total ada 46 pejuang meninggal,” ucapnya.
Jenazah para pejuang itu awalnya dimakamkan di Sidoarjo dan pada 10 November 1960 dipindah ke makam pahlawan Kota Kulon Bondowoso.
(Awi)