SURABAYA, FaktualNews.co – Masyarakat Jawa Timur, dan suku Jawa pada umumnya, selain memiliki ajaran kepribadian luhur, ramah dan sopan, juga kaya dengan tradisi dan budaya yang menarik.
Tarian, pakaian, makanan, musik, ritual dan upacara adat yang lestari hingga kini adalah contoh kekayaan kebudayaan masyarakat Jawa Timur yang diwariskan secara turun-temurun.
Banyak tradisi masyarakat Jawa Timur yang merupakan warisan leluhur dan berlangsung sejak lama hingga sekarang.
Untuk mengenal sedikit ritual dan upacara adat apa saja yang masih lestari hingga kini, berikut kami hadirkan ulasan 5 adat masyarakat Jawa Timur yang disarikan dari berbagai sumber.
1. Upacara Kasada Suku Tengger
Upacara Kasada adalah festival adat Suku Tengger yang diadakan setiap tanggal 14 di bulan Kasada dalam penanggalan Jawa.
Dalam upacara Kasada, masyarakat Tengger melempar berbagai sesaji sayur-sayuran, buah-buahan, ternak bahkan uang ke kawah Gunung Bromo.
Upacara Kasada yang dilakukan Suku Tengger sebagai bentuk rasa syukur atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah, memohon agar dijauhkan dari malapetaka, dan yang utama adalah sebagai peringatan pengorbanan Raden Kesuma.
Raden Kesuma merupakan anak Jaka Seger dan Lara Anteng, penguasa suku Tengger di zaman kuno.
Dalam upacara Kasada, masyarakat Suku Tengger berkumpul dengan hasil pertanian dan pertanian yang diatur di sebuah tempat yang disebut ongkek.
Mereka berbondong-bondong membawa sesajen ini ke kawah Gunung Bromo untuk dilempar ke dalamnya.
2. Labuhan Pantai Ngliyep di Malang
Setiap bulan Mulud dalam kalender Jawa atau Rabiulawal dalam kalender hijriah, masyarakat Pantai Ngliyep di Desa Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang biasa menggelar upacara Labuhan.
Dalam upacara tersebut warga melarungkan sesajen di laut selatan yang berada sekitar 80 kilometer dari arah selatan kota Malang. Tradisi ini konon sudah berlangsung ratusan tahun, meski tidak sebesar sekarang.
3. Ritual Seblang Warga Osing
Ritual Seblang merupakan salah satu ritual Suku Osing yang berada di Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, yakni Desa Bakungan dan Desa Olehsari.
Ritual Seblang, dilakukan untuk tujuan bersih desa dan menolak bala, agar desa tetap aman dan damai.
Pelaksanaan ritual Seblang di kedua desa tersebut berbeda waktunya. Di desa Olehsari dilaksanakan satu minggu setelah hari raya Idul Fitri di mana sang penari dalam ritual tersebut adalah gadis perawan.
Di desa Bakungan, Seblang dilaksanakan seminggu setelah Idul Adha dan penarinya adalah wanita yang sudah menopouse.
Ritual di kedua desa tersebut memiliki kesamaan yakni tarian sama-sama dilakukan selama tujuh hari berturut-turut dalam kondisi sang penari yang kerasukan (trance) roh leluhur.
Penarinya dipilih secara supranatural oleh seseorang pawang yang biasa disebut warga sekitar dengan sebutan Gambuh. Penari biasanya dipilih dari keturunan penari Seblang sebelumnya.
4. Keboan dan Kebo-Keboan, Banyuwangi
Keboan dan Kebo-Keboan merupakan upacara tradisional yang sama-sama berarti kerbau jadi-jadian. Kerbau menjadi ikon ritual tersebut karena dianggap sebagai simbol mitra petani di sawah.
Ada dua desa di Kabupaten Banyuwangi yang memiliki tradisi serupa, meskipun nama dan teknis upacaranya sedikit berbeda. Yakni ritual Keboan di Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi dan ritual Kebo-Keboan di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh.
Dua upacara adat tersebut biasa digelar pada Hari Minggu antara tanggal 1-10 bulan Sura atau Muharam.
Ritual yang digelar sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen sekaligus doa keselamatan dan tolak bala terebut konon sudah dikenal sejak abad 18 dan masih dilestarikan hingga sekarang.
5. Manten Kucing di Tulungagung
Manten Kucing (pengantin kucing) merupakan warisan budaya di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung berupa ritual untuk meminta hujan. Karena itu, upacara adat itu biasanya dilakukan ketika musim kemarau panjang.
Ritual tersebut dilakukan dengan mengarak dua kucing jantan dan betina yang berasal dari sisi barat dan timur Desa Pelem.
Manten Kucing sama sekali tidak mengarah pada kegiatan mengawinkan sepasang kucing. Itu hanya sebuah nama yang merujuk pada ritual mengarak sepasang kucing menuju telaga Coban untuk kemudian dimandikan.
Konon ritual tersebut telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda. Tradisi itu berawal ketika seorang pendatang bernama Eyang Sangkrah memandikan dua ekor kucing di telaga Coban, lalu turun hujan.