Sosial Budaya

Pawang Hujan Sudah Ada Sebelum Zaman Majapahit, Bahkan Digunakan dalam Strategi Perang

SURABAYA, FaktualNews.co – Aksi Rara Istiati Wulandari alias Mbak Rara mengusir hujan pada gelaran MotoGP Indonesia 2022 di Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah, NTB pada Minggu (20/3/2022), menyita perhatian dunia.

Sehingga tak sedikit yang bertanya tentang asal muasal pawang hujan, sebuah pekerjaan yang digeluti perempuan berdarah Jawa-Bali dan lahir di daratan Papua tersebut.

FaktualNews.co meringkas seputar pawang hujan berdasar wawancara dengan seorang pakar spiritual Firman Ardiansyah, atau dikenal dengan Gus Man.

Pawang hujan menurutnya adalah orang yang ahli mengendalikan cuaca sesuai dengan lokasi yang dipijak. Bila di Indonesia dikenal dua musim, maka pawang hujan mampu mendatangkan hujan maupun membuatnya kemarau.

“Jadi ketika musim hujan dibuat terang, atau musim kemarau didatangkan hujan,” ucapnya, Kamis (24/3/2022).

Ia mengatakan, pawang hujan bila berdasar babad tanah Jawa, sudah dikenal sebelum zaman Kerajaan Majapahit. Pada masa itu ada ‘Seorang Pawang Hujan’ yang cukup terkenal bernama Ki Bogang.

“Ditulis oleh Anton DH Nugrahanto dalam artikel berjudul Mantra Pawang Hujan menyebut dengan ilmunya yang tinggi, dirinya (Ki Bogang) berhasil mendatangkan hujan saat penyerbuan Raden Wijaya ke kemah Pasukan Mongol-Tartar dan menghabisi panglimanya,” tutur Gus Man, Kamis (24/3/2022).

Masih berdasarkan artikel itu ia bilang, pada musim kemarau jarang turun hujan maka Ki Bogang diperintahkan Raden Wijaya mendatangkan hujan dan terjadilah pembantaian Pasukan Mongol di tengah hujan lebat pada tengah malam sampai menjelang pagi.

Kelak Ki Bogang diserahi tugas pengamatan cuaca di Kerajaan Majapahit. Ilmunya ini kemudian diturunkan kepada cucunya Ki Bango Samparan. Pada penyerangan ke Bali lanjutnya, Ki Bango Samparan mendatangkan hujan lebat ketika pendaratan Pasukan Majapahit di Pantai Kuta-Bali.

Lalu pada masa Mataram, peran Pawang Hujan masih cukup penting sebagai taktik dalam berperang. Beberapa nama menjadi sosok tercatat sebagai Pawang terkenal pada masa itu.

“Dia adalah Ki Bagas Dipotomo dan Danurwarsito,” kata Gus Man, anggota Yayasan Persaudaraan Paranormal Seluruh Indonesia (YPSSI) tersebut.

Ia mengatakan, sosok Danurwarsito ini masih hidup pada Era Sultan Agung Hanyokrokusumo yang berperan dalam membantu penyerangan Mataram ke Surabaya. Dirinya mendatangkan hujan besar sebelum pasukan Mataram masuk ke wilayah Keraton Surabaya.

Setelah itu, kesaktian dari pawang hujan Mataram diwariskan di berbagai wilayah, salah satunya di Banten. Bahkan sampai sekarang di Pandeglang ada tradisi bernama Nyarang Hujan yaitu ilmu Mengatur Cuaca.

Selain itu, dalam tradisi Hindu, menolak hujan sering menggunakan figur Batara Yama yakni Dewa Penguasa Surga yang mengadili roh setelah melewati batas akhir hidup.

“Christiaan Hooykaas dalam buku Drawings of Balinese Sorcery menyatakan bahwa praktik tolak hujan dapat digunakan sebagai proteksi pertunjukan wayang,” tutur Gus Man.

Dalang pun disebutnya, memainkan peran sebagai pawang hujan dengan baik. Hajatan yang mendatangkan dalang sebagai pawang hujan nyatanya mampu menahan atau memindahkan hujan.

“Keberhasilan itu membuat profesi dalang memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan buruh,” celetuknya.

Masyarakat Jawa merupakan tempat yang masih menjaga tradisi dan adat yang diwarisi secara turun-temurun. Kepercayaan terhadap roh-roh halus dan dunia spiritual tidak bisa dihilangkan dari pemikiran Masyarakat Jawa.

“Karena itulah sosok yang dianggap bisa berhubungan dengan alam menjadi orang yang sangat dihormati ketika masyarakat membutuhkan bantuan. Begitu juga ketika orang akan mengadakan acara dan mengharapkan cuaca cerah mereka akan mendatangi para sesepuh yang dikenal sebagai pawang hujan,” tandas Gus Man.