SURABAYA, FaktualNews.co – Beberapa tahun terakhir di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Timur, marak tindak asusila atau kekerasan seksual terhadap anak. Kekerasan seksual itu justru terjadi di ruang lingkup sekolah, Ponpes maupun kampus.
Baru-baru ini, dua kasus kekerasan seksual yang menonjol hingga menghebohkan publik yakni pencabulan sejumlah santriwati, yang dilakukan oleh Mochammad Subchi Azal Tsani (42), anak kiai sepuh pemilik Ponpes Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang.
Kemudian, kasus yang terjadi di SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI), Kota Batu, Jawa Timur. Puluhan siswa selain mendapat ilmu belajar, mereka juga menjadi korban pencabulan oleh motivator Julianto Eka Putra, yang tak lain merupakan pendiri sekolah elit tersebut.
Selain itu yang dilakukan oknum guru terhadap sejumlah anak didiknya, yang terjadi di Sekolah Dasar Kecamatan Pesantren, Kota Kediri. Yang melibatkan oknum guru.
Melihat fenomena tersebut, Ketua Bidang Data, Komunikasi dan Litbang Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim, M Isa Anshori angkat bicara, lemahnya pengawasan dan perhatian kepada anak jadi salah satu faktor penyebab kekerasan seksual terjadi.
“Saya melihat maraknya aksi kekerasan seksual terhadap anak adalah sebagai akibat dari masih lemahnya pengawasan dan pencegahan,” katanya, Sabtu (23/7/2022).
Berdasarkan data yang dihimpun dari LPA Jatim, pada 2020 ada sebanyak 66 kasus kekerasan seksual, pada 2021 ada 363 kekerasan, 112 diantaranya adalah kasus kekerasan seksual. Kemudian, tahun 2022 sampai bulan Juli ada 112 kasus kekerasan, dari jumlah itu 38 diantaranya adalah kekerasan seksual.
Isa Anshori menambahkan, LPA Jatim memandang kasus tersebut sebagai masalah serius. Sebab, mirisnya pelecehan seksual itu dilakukan di lingkungan pendidikan, yang merupakan tempatnya orang intelektual dan bermoral.
“Yang memprihatinkan lagi, adalah sekolah dan rumah menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual,” tambahnya.
Menurutnya, hukuman maksimal terhadap para tersangka itu wajib diberikan. Sebab, dengan adanya dua kasus yang mencuat itu telah membuktikan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja dan tentunya, mengancam keamanan anak-anak yang belum dewasa.
“Hukuman maksimal menjadi penting, karena selama ini jarang diterapkan, selain itu, Sosialisasi tentang kesehatan reproduksi kepada semua, terutama kepada orang tua, guru dan anak anak menjadi penting,” paparnya.
Isa juga mengatakan stigma buruk publik terhadap korban kekerasan seksual membuat korban enggan untuk melapor kepada pihak berwajib. Sehingga membuat kasus kekerasan seksual terus meningkat.
“Pelaku kekerasan seksual biasanya orang dekat, sehingga ini dianggap aib,” ungkapnya.