MOJOKERTO, FaktualNews.co – Tim dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur menyudahi penggalian Situs Watesumpak, Dusun/Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Disana diyakini jejak permukiman zaman kerajaan Majapahit.
Meski demikian, peneliti masih belum bisa mengungkap banyak misteri di situs yang berada di tengah kebuh jagung itu. Hanya saja, di wilayah Desa tersebut sebelumnya juga ditemukan bangunan dan benda peninggalan purbakala, seperti sumur dan gapura beserta pecahan keramik dan tembikar.
Koordinator Ekskavasi Situs Watesumpak, Vidi Susanto memiliki hipotesis hasil ekskavasi tahap pertama yang digelar 10 hari, 17-26 September 2022. Ia berpendapat, jika struktur bangunan yang ada di Situs Watesumpak merupakan bekas permukiman kuno para elite atau golongan bangsawan pada masa kerajaan Majapahit
Lalu, bagaimana sebenarnya ciri-ciri khas permukiman zaman Majapahit, mulai dari rakyat biasa hingga para bangsawan?
Vidi yang juga merupakan Arkeolog BPCB Jatim memgungkapkan, permukiman zaman Majapahit mempunyai beberapa ciri khas. Diantaranya, atap hunian menggunakan genting dan sudut-sudut atapnya berhiaskan ukel.
Maka tidak heran, apabila ditemukan pecahan genting dan ukel di situs-situs permukiman peninggalan Majapahit. Misalnya seperti di Situs Watesumpak, permukiman Segaran dan Grogol yang ditemukan di Kabupaten Mojokerto. Selain itu, gerabah yang digunakan juga mempunyai ciri khas.
“Gerabahnya kebanyakan dengan pola hias, seperti motif hias tumpal, beberapa bunga. Gerabah model seperti itu buming pada zaman Majapahit,” ungkapnya, Kamis (29/9/2022).
Ia menjelaskan, rumah masyarakat pada zaman Majapahit antara rakyat biasa dengan kaum bangsawan, brahmana dan kesatria dibedakan. Rumah rakyat biasanya berupa rumah tunggal yang berjajar tanpa pagar sehingga membentuk kampung.
“Kalau puri untuk orang-orang dengan kasta tinggi dia punya pembagian ruang tempat sakral, semi sakral, profan. Berdasarkan kasta ada kerabat keraton, kesatria dan pemuka agama,” jelas Vidi.
Kajian tentang permukiman zaman Majapahit juga diulas dalam kajian berjudul Pakuwon pada Masa Majapahit: Kearifan Bangunan Hunian yang Beradaptasi dengan Lingkungan. Selain itu juga digambarkan oleh Mpu Prapanca di dalam Kitab Negarakertagama.
Hal itu dijelaskan oleh Arkeolog Universitas Indonesia Profesor Agus Aris Munandar. Ia menerangkan, kerajaan Majapahit yang didirikan Raden Wijaya tahun 1293 itu dikuasai kesultanan Demak pada tahun 1419. Dilihat dalam laporan Musafir Portugis Antonio Pigafetta tahun 1522, disitu disebutkan jika eksistensi Majapahit sebagai kota besar di Jawa bagian timur. Ditambah lagi adanya Prasasti Pabanolan Pari yang dibuat di Majapahit tahun 1541.
Maka, diperkirakan Majapahit sebagai kota besar di Jatim masih eksis sampai pertengahan abad 16. Masa setelah itu, permukiman zaman Majapahit berubah. Desanya menjadi sepi ditinggalkan penduduk. Namun, belum diketahui jelas penyebabnya. Hingga kini masih menyisakan misteri.
“Maka Majapahit sebagai permukiman besar bertahan sampai pertengahan abad 16. Tidak diketahui pasti penyebab ditinggalkan penduduknya hingga menjadi desa sepi, hutan dan areal pertanian yang sekarang dinamakan Trowulan,” tutur Profesor Agus.
Mengkaji permukiman zaman Majapahit, lanjut Profesor Agus, ia menggunakan banyak refrensi dan temuan yang ada. Salah satunya relief-relief candi peninggalan Majapahit di pusat informasi Majapahit (PIM) di Trowulan, serta relief-relief di Candi Minakjinggo, Candi Surawana di Kediri, Candi Penataran di Blitar dan Candi Jawi di Pasuruan.
Menurut dia, umah pada masa Majapahit menggunakan konsep keagamaan Hindu dan Buddha. Sedangkan pada masa setelah menggunakan konsep gabungan, antara Hindu, Budha, Islam, dan tradisi.
“Konsep hunian Majapahit beda dengan masa setelahnya. Kalau Majapahit memakai dasar keagamaan Hindu dan Buddha. Masa setelahnya menggunakan konsepsi baru gabungan Hindu, Budha, Islam dan aturan Tradisi,” bebernya.
Apabila dilihat dari relief-relief candi tersebut, rumah kaum berkasta tinggi pada zaman Majapahit menggunakan konsep pakuwuan atau pakuwon. Yaitu berupa sekumpulan bangunan terbuka, setengah terbuka dan bangunan berbilik yang dikelilingi pagar tembok. Pada salah satu sisi pagar terdapat pintu gerbang berupa gapura candi bentar atau gapura kembar seperti Candi Wringinlawang di Desa Jatipasar, Trowulan.
Rumah yang dihuni kaum bangsawan, kerabat kerajaan atau orang kaya pada masa itu dibagi menjadi 2 halaman. Gapura candi bentar menjadi akses masuk ke halaman 1 yang mempunyai beberapa bangunan. Halaman 1 dan 2 dipisahkan pagar dengan gerbang beratap pendek. Beberapa bangunan di halaman kedua sebagai tempat tinggal pemilik rumah dan keluarganya.
Berbeda halnya dengan hunian para pertapa pada zaman Majapahit. Seperti yang digambarkan di relief pendopo teras II Candi Penataran berupa rumah sederhana tunggal. Rumah pertapa berdiri di permukaan batur, berdenah persegi panjang, dinding papan, satu pintu, dan bentuk atap perisai dengan penutup atap dari ijuk.
Sedangkan rumah rakyat biasa berupa bangunan tunggal tanpa pagar keliling yang mempunyai 6 tiang. Setiap tiang ditopang umpak. Bangunannya berkolong dengan lantai papan kayu, mempunyai satu bilik yang menutup keempat tiangnya dengan papan. Sisanya dibiarkan sebagai ruang terbuka dengan ketiga sisinya ditutup dengan papan, atapnya berbentuk perisai dengan penutup genting-genting kecil.
Hunian rakyat biasa juga digambarkan Mpu Prapanca di Kitab Negarakertagama. Yakni ketika Raja Majapahit, Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke Lumajang tahun 1359. Rumah-rumah penduduk pada masa itu berupa bangunan tunggal sederhana yang tidak mempunyai pagar keliling.
“Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa rumah-rumah penduduk di pedesaan bentuknya bukan gugusan bangunan yang dilingkupi pagar keliling, melainkan bangunan-bangunan tunggal yang didirikan terpisah-pisah tanpa ada pagar keliling,” tulis Profesor Agus.
Konsep pakuwuan untuk hunian kaum bangsawan dan orang kaya zaman Majapahit, menurut Profesor Agus mirip dengan rumah tradisional di Bali. Karena para keturunan bangsawan atau arya pada masa itu bermukim di Pulau Dewata membawa segala pencapaian kebudayaan setelah Majapahit runtuh. Teori ini berdasarkan karya-karya sastra Bali, seperti Babad Dalem, Dwijendratatwa, Babad Arya Kutawaringin, serta Babad Arya dan Ratu Tabanan.
“Oleh karena itu untuk mengetahui lebih lanjut penataan bangunan dalam suatu Pakuwon Majapahit, rumah-rumah tradisional Bali dapat dijadikan acuan sebagai pembandingnya,” urainya.
Menurut Profesor Agus pembagian area di rumah tradisional Bali menggunakan konsep tri angga. Yaitu terdapat bagian nista, madya dan uttama. Selain itu juga mengacu pada dewa-dewa astadikpalaka atau dewa-dewa penjaga mata angin dalam ajaran Hindu. Berkaca dari rumah tradisional Bali, pakuwuan pada masa Majapahit mempunyai beberapa ciri khas.
Yaitu berupa kumpulan bangunan yang dikelilingi pagar, terdapat pintu gerbang berbentuk candi bentar atau angkul-angkul, bangunan didirikan di permukaan batur yang relatif tinggi, setiap bangunan memiliki beranda lebar, jarak antar bangunan dalam gugusan pakuwon telah tertata dengan baik, serta bagian tengah pakuwon sebagai halaman atau natar untuk aktivitas bersama keluarga yang menjadi penghuninya.
Bangunan di area sebuah pakuwuan didirikan di permukaan batur yang relatif tinggi bukan tanpa pertimbangan. Ditinjau dari sudut pandang religi, batur sebagai simbol dunia bawah yang menyokong tubuh bangunan sebagai dunia manusia, serta atap sebagai simbol swarloka dunia para dewa. Sedangkan dari sudut pandang praktis, batur untuk menghindari banjir.
Begitu juga dengan beranda yang dibuat terbuka. Dari sudut pandang religius, berada sebagai daerah madya, tempat bertemunya para tamu dan tuan rumah. Sehingga tidak mengganggu privasi pemilik rumah. Sedangkan dari sudut pandang praktis, beranda dibuat terbuka untuk kenyamanan penghuninya. Karena udara tropis yang panas dan lembab.