Peristiwa

Di Jatim Selama 2022 Tercatat 1.362 Kasus Kekerasan Anak, Ini Mayoritas Penyebabnya

SURABAYA, FaktualNews.co-Sepanjang 2022, di Jatim tercatat 1.362 kasus kekerasan pada anak, dan 968 kekerasan pada perempuan. Dari jumlah tersebut, semua kasus sudah ditangani Pemprov Jatim dan dinas di kabupaten/kota.

Hal ini seperti diutarakan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Jatim Restu Novi Widiani, mengatakan. “Semua kasus itu sudah tertangani baik ya. Memang trennya masih tinggi kekerasan pada anak dan perempuan,” kata Novi di Surabaya, Sabtu (21/1/2023).

Novi menyebut mayoritas kekerasan pada anak ialah kekerasan seksual. Sedangkan kekerasan pada perempuan kebanyakan kekerasan secara psikis.

Ia juga mengatakan Pemprov Jatim terus mensosialisasikan terkait pencegahan kekerasan pada anak dan perempuan. Sejauh ini, Pemprov memiliki Satgas Perlindungan Perempuan Anak (PPA).

Peran satgas ini, kata Novi, ialah mengawasi di lapangan melalui tim khusus untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan. Apabila terjadi kasus kekerasan, satgas PPA akan turun mendampingi dan membantu pelaporan ke aparat penegak hukum.

“Pada November 2022 Bu Gubernur mengukuhkan satgas PPA, sebagai respons untuk menangani kasus kekerasan yang menimpa anak dan perempuan di Jatim,” jelasnya.

“Lalu upaya dari Pemprov Jatim melalui DP3A, kita ambil penanganan di Jatim. Ada lima fokus penanganan di Jatim, pertama stop stunting, stop tanpa administrasi kependudukan, stop bullying dan kekerasan anak dan perempuan, stop pekerja anak, dan stop dispensasi kawin anak,” jelasnya.

Novi melihat masih banyak korban kekerasan yang belum berani speak up untuk mendapat pertolongan. Padahal, pemerintah akan menjamin identitas korban terjaga, termasuk akan mengejar pelaku kekerasan untuk dibawa ke ranah hukum.

“Kita ingin di Jatim ini tertangani dengan baik, dan yang pasti cepat, korban aman. Misal saya kasih contoh di Jember yang ponpes itu. Jember itu kejadian di ponpes ternyata kata Kanwil Kemenag ponpes tidak ada izin, ke Dinsos juga tidak ada izin. Artinya bahwa ada proses, dan kita terus push ya, alhamdulillah oknum sudah ditangkap, korban kita dampingi,” jelasnya.

Novi mengungkapkan perlunya kesadaran bersama untuk mencegah kekerasan pada anak dan perempuan. Di level sekolah misalnya, perlunya ‘polisi sekolah’ dalam hal ini guru bimbingan konseling (BK) dan peran siswa untuk menjaga satu sama lain.

“Jadi misal di sekolah itu, guru BK harus friendly ke siswa siswinya. Dari situ, siswa siswi tidak takut untuk menceritakan kendala-kendala apa sih, istilahnya tempat curhat ya. Kekerasan itu harus kita pagari, termasuk dari sekolah,” katanya.

“Kalau di sekolah ada guru BK, kalau di rumah itu ya orang tuanya. Kalau di masyarakat ya organisasi masyarakat. Tapi memang masih banyak kekerasan pada anak di keluarga, itulah perlunya kesadaran sekitar, jangan cuek,” pungkasnya.