Bolehkah, Bapak dan Anak Jadi Penyelenggara Pemilu
JOMBANG, FaktualNews.co – Pertanyaan sederhana atas temuan warga saat perhelatan Pilkada serentak digelar. Bisakah bapak dan anak menjadi satu dari bagian penyelengara pemilu ?. Dasar yang dapat kita jadikan pijakan adalah PKPU Nomor 3 tahun 2018 tentang pembentukan dan tata kerja PPK, PPS dan KPPS, serta UU Nomor 7 Tahun 2017 tentng Pemilihan umum.
Jika kita mencermati konsideran (dasar filosofis) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang pemilihan umum yang merupakan rujukan utama pembuatan PKPU Nomor 3 Tahun 2018 Tentang pembentukan dan tata kerja PPK, PPS, dan KPPS. Sebagaimana kita ketahui Konsideran UU Nomor 7/2017 huruf b menyebutkan yang pada intinya bahwa “pengaturan pemilihan umum merupakan perwujudan sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berintegritas demi menjamin konsistensi dan kepastian hukum serta pemilihan umum yang efektif dan efisien.”
Artinya penyelengggaraan pemilihan umum selain memenuhi ketentuan sistem demokrasi tapi juga menuntut adanya demokrasi yang berintegrtas. Secara umum orang yang berintegritas adalah orang yang memiliki pribadi yang jujur dan karakter yang kuat. Integritas menjadi kata pilihan agar demokrasi dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan orang yang dipilih seseuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat mayoritas.
Pada Pasal 36 ayat (1) huruf i PKPU Nomor 3 Tahun 2018, syarat menjadi anggota KPPS,PPS dan KPPS “tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan sesama penyelenggara pemilu.” Lalu bagaimana jika sesama penyelenggara pemilu terdapat anak dan bapak dan/atau anak dan ibu.
Memahami istilah “ikatan perkawinan” jika menggunakan logika normatif maka semua orang akan memaknai suami dan isteri. Menafsiri dan memahami undang-undang tidak hanya cukup hanya menggunakan tafsir autentik saja, namun masih terdapat 9 tafsir lainnya, diantaranya adalah tafsir historis, tafsir restriktif, tafsir ekstentif dan lain-lain, yang tidak mungkin kami jelaskan satu persatu di sini.
Jika memahami dengan tafsir restrektif dengan cara mempersempit arti dari norma sebuah undang-undang maka “ikatan perkawinan” akan dimaknai sebagai ikatan suami isteri saja. Itu artinya yang dilarang menjadi anggota PPK,PPS dan KPPS hanya sumai isteri. Sehingga jika dalam PPK,PPS,KPPS terdapat anak dan bapak /ibu “dianggap” tidak melanggar undang-undang. kira-kira pemahaman inilah yang dipakai oleh hampir semua anggota KPU/KPUD, karena memaknai UU berdasarkan norma yang tekstual saja.
Namun jika menggunakan tafsir ekstentif maka dalam PPK, PPS, KPPS tidak boleh terdapat anak dan Bapak/ibu, Kenapa…? Karena PKPU tersebut menggunakan istilah “ikatan perkawinan” bukan ikatan “suami isteri”. Jika yang dimaksud adalah hanya suami isteri yang dilarang maka pasti PKPU akan menggunakan istilah “tidak dalam ikatan suami isteri”. artinya istilah “ikatan perkawinan” mempunyai makna yang lebih luas jika dibandingkan istilah “ikatan suami isteri”. Dengan tafsir ekstentif tersebut maka “anak-bapak/ibu” adalah bagian dari “ikatan perkawinan”.
Dengan demikian seharusnya dalam PPK, PPS dan KPPS yang tidak diperbolehkan bukan hanya suami dan isteri akan tetapi juga anak dan bapak atau anak dan ibu tidak diperbolehkan karena PKPU menggunakan istilah “ikatan perkawinan” bukan “ikatan suami isteri”.
Berdasarkan Tafsir ekstentif maka Pendapat yang terakhir inilah yang benar (anak dan bapak atau anak dan ibu tidak boleh menajdi anggota dalam satu PPK,PPS dan KPPS). Untuk memahami persoalan ini memang perlu pemahaman yang holistik. Coba kita cermati pasal 2 PKPU Nomor 3 tahun 2018 terdapat asas-asas yang harus dimiliki oleh anggota PPK,PPS dan KPPS, yaitu: asas mandiri, adil proporsional, profesional, akuntabel dan asas-asa lainnya.
Sebagaimana kita ketahui asas adalah merupakan prinsip dasar yang menjadi acuan. Jika terdapat anak dan bapak/ibu dalam satu PPK, PPS dan KPPS maka kemandirian, keadilan, proporsional dan profesionalitas, sangat diragukan. Sebab terdapat ikatan bathin , keterikatan dan kohesi antara keduanya inilah penyebab utamanya. Jika hal tersebut terjadi maka tujuan demokrasi yang akuntabel menjadi tidak dapat dicapai. Selain itu juga ada asas keadilan. Apakah di sebuah kecamatan, sebuah desa tidak terdapat orang lain selain anak dan bapak/ibu tersebut. Ini tentu sangat merusak sistem dan mengabrasi kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilu dan hasil pemilu itu sendiri nantinya.
Inilah menurut saya pentingnya KPU memahami dengan baik dan benar kata-perkata serta kalimat perkamlimat dalam membuat norma dalam sebuah peraturan. Memahami aturan tidak hanya membaca norma, tapi juga memahami maksud, konsep dan filosofi sebuah aturan.
Penulis : Solikin Rusli Direktur Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan Fakultas Hukum Undar Jombang