TRENGGALEK, FaktualNews.co – Desa Wonoanti, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek, merupakan kawasan yang penduduknya banyak bergelut di dunia kerajinan bambu, terutama caping (topi) bambu.
Seperti di teras rumah milik Mursini (52) warga setempat. Tampak seorang pria dan beberapa wanita bergelut dengan bambu. Mereka memilik peran masing-masing dalam mengolah bambu, di antaranya ada yang memotong, membelah, menipiskan dan menganyam hingga menjadi caping. “Iya, ini sedang menyelesaikan pesanan,” kata Mursini, Minggu (26/7/2020).
Musini membenarkan di wilayah tempat tinggalnya merupakan kawasan kampung caping bambu dan mayoritas penduduknya sebagai pengerajin caping. Ia mengaku sejak kecil sudah bergelut dengan kerajinan bambu. Bahkan, ia pun lupa sejak usia berapa bisa belajar menganyam menjadi caping.
Dia juga mengatakan, semula dirinya dan beberapa rekan pengerajin sempat ingin berhenti menjalani aktivitas membuat kerajinan dari bambu. Dengan alasan kurang penghasilan.
“Awalnya kerajinan caping bambu ini hanya dijadikan pekerjaan sampingan, bahkan sempat ingin berhenti. Karena pengasilan dari anyaman bambu masih kurang dan memilih kerja di tempat lain,” ucapnya,
Diakuinya, kerajinan anyaman bambu dikerjakan jika waktu senggang. Pada saat, setelah selesai melakukan kegiatan rutin sebagai IRT (ibu rumah tangga) dan itupun sudah bisa dijadikan pencarian tambahan.
Kerajinan caping produksinya dan pengerajin lainnya, masih kata Musini, banyak dipesan oleh pedagang yang dari luar daerah. Mengingat selain kualitas caping buatannya terjaga dengan baik, juga harganya sangat bersaing dan relatif murah dibanding daerah lainnya.
“Untuk harga satu buah caping yang sudah siap pakai, kita lepas dengan harga antara Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu, tergantung besar dan hiasan cat yang ada,” jelasnya.
Kerajinan caping, tambah Musini, buatan warga setempat saat ini sudah menyebar di berbagai penjuru tanah air, bahkan ada juga yang sampai ekspor. Dan di perkirakan kerajinan mulai boming sejak tahun 1990 hingga sekarang.
Namun sayang, karena keterbatasan modal, semua aktivitas penjualan tersebut dilakukan oleh pihak ketiga, alias ada pembeli yang mengambil dan menjualnya kembali.
” Memang jika ada order melimpah tak jarang para perajin harus lembur hingga dini hari. Ketika agak menurun kita kerjakan di waktu luang selesai beraktifitas,” tambahnya.
Di tempat yang sama, Ismiatu (51) salah satu pengerajin lain juga menjelaskan, sampai saat ini tidak diketahui pasti, kenapa masyarakat di desa tersebut ahli membuat kerajinan bambu.
“Sepengetahuan saya dari para leluhurnya sudah memiliki keahlian mengolah bambu dijadikan kerajinan dan tetap lestari hingga saat ini. Dan kebanyakan yang menekuni sebagai pengerajin caping adalah IRT. Sebab untuk laki-laki desa setempat biasanya lebih memilih bekerja sebagai petani atau lainnya,” pungkasnya.